Januari 28, 2022

Sekilas Kisah Unik, Riyadi Ariyanto, Founder Sekolah Alam Raya Jember
Kisah Riyadi Ariyanto
Sudah tersaji pisang rebus, kacang rebus, pisang goreng, seteko minuman, cangkir tengkurap bertumpuk-tumpuk. Kami berada di kediaman yang biasa dipanggil Rumah Imaji, yang di dalamnya ada banyak peralatan rumah tangga, tupperware berbagai bentuk mendominasi etalase. Nurul Hidayat, Sang Empu rumah, menjadi tempat obrolan asyik mengenai literasi. Fokus perbincangan dunia aksara terhenti, menjadi fokus ke kisah-kisah yang dibawakan Pak Riyadi, founder Sekolah Alam Raya Jember.   

“Saya melihat pada umur my second fifty ini. Saya harus meluruskan niat, sebab niat itu kunci utama dari suatu pekerjaan yang lahirnya di dalam hati. Jadi niat saya adalah membahagiakan siapapun orang-orang yang ingin saya bahagiakan. Berbagi happy!” ujar Pak Riyadi.

Saya mengangguk-angguk, sesekali mengetik mencatat apa yang terlontar pada obrolan siang itu pada ponsel. Utamanya kata-kata yang tak saya mengerti, seperti ‘umur my second fifty’, umur berapa sih itu?

Tak lama kemudian seorang berhijab wintergreen leaf yang padu dengan gamis bercorak sama. Beliau bernama Tyasati. Katanya, "Eh, saya kesasar di perumahan BTB." Kemudian tertawa kecil. Bertambah satu orang, menjadi delapan orang yang hadir. Dan sampai selesai acara terkumpul delapan orang. 

Pak Riyadi menceritakan bahwa dirinya pernah bermotoran seorang diri datang ke Banyuwangi, bertamu di Taman Baca Sahabat Kecil, Nurul hikmah. Memenuhi undangan. Kegiatan tersebut kadang mendapatkan feedback, teman-teman literasi dari Banyuwangi ganti bertandang ke Jember.

Sekolah alam raya
Salah satu kegiatan di Sekolah Alama Raya, besutan Pak Riyadi. (sumber:fb/riyadiariyanto).

Sering berkunjung ke rumah teman-teman memenuhi undangan acara, berangkatnya memakai sangu pribadi, dan pulang dari bertamu pun pakai sangu pribadi juga. Pak Riyadi mendapatkan keuntungan melimpah dari  berkunjung ke sana ke mari untuk memenuhi undangan tersebut, yakni mendapatkan atmosfer kebahagiaan. Karena dari situ beliau merasa lebih bergerak dan hidup. Bertanya kabar dan membicarakan segala macam corak-corak kehidupan manusia bersosial.

“Dan saya merasa ada spirit,” terang Pak Riyadi. “Ingin menciptakan rumah kerja sosial berdampak rukun dan happy. Bisa berpentuk perusaan sosial. Tapi untuk ke sana tidak mudah. Dan kalau pun sudah sampai ke sana, bahkan tak mudah juga”.

“Sebentar, tadi maksudnya apa ya, ‘umur my second fifty’?” tanya seorang teman literasi, berkacamata tebal, bertudung conch shell. Bernama Riana. Jadi saya mengurungkan mencari istilah tersebut pakai jasa embah google, beliau telah mewakili. 

“Oh, my second fifty adalah istilah yang berarti umur 50 tahun berjalan, jadi saya baru lahir hari ini. Saya bayi yang berumur 50 tahun. Karena manusia dijangka usianya paling tinggi 100 tahun,” jelas Pak Riyadi.

“Oh, masya Allah, jadi bulan Januari ini genap umur 50 tahun ya, Pak?” kejar Riana.

“Bulan Januari adalah karangan saya dan wali kelas saya waktu SD. Bahkan nama saya pun karangan saya sendiri.” Tertawalah dalam satu ruangan itu, sebab pernyataan dari Pak Riyadi terdengar aneh dan lucu. Kami bertanya-tanya. Kemudian beliau menjelaskan.

Saat Pak Riyadi kelas 4 SD, beliau bertanya kepada ibunya, ‘bu nama saya siapa?’ Sebab besok hari ada tugas dari guru agar membubuhkan nama lengkap. Sebab pada zaman Pak Riyadi kecil orang-orang kampung, dimana beliau tinggal, orang-orang kampung biasa memanggil anak-anak mereka dengan nama orang tua. Atun adalah nama panggilan Pak Riyadi kecil, karena nama itu adalah nama ibu beliau. Jadi hal itu tak dinilai aneh, sebab kebiasaan itu sudah familiar dan biasa.

“Jadi akta bagaimana, apa belum punya waktu itu?”

“Wah, akta tidak punya karena saya orang melarat saat itu!” seru Pak Riyadi, dengan tawa renyah serenyah kudapan putih lonjong atau pilus ikan, rame di mulut. Kudapan itu tiba-tiba datang menjadi hidangan. Didapat dari seorang perempuan sepuh, sedikit bungkuk, penjual keliling yang tiba-tiba menawarkan jualannya di teras rumah imaji. Dengan membawa rinjing bambu yang dililit selendang cokelat.

“Jadi di rapot itu sudah ada R-I-A-D-I, nama Riadi sudah ada. Ketika saya tanya ibu, dari mana nama Riadi itu berasal, ‘tak tao engkok’ begitu kata ibu. Kemungkinan dari bidan. Jadi muncul ide, saya buat kesempatan itu untuk mengarang nama. Itu adalah kegiatan literasi pertama dan berkesan sepanjang hidup saya, mengarang nama.” Teman-teman seketika pecah tawanya.

Di gading asri perumahaan taman gading
Obrolan literasi berlanjut di Gading Asri.

“Waktu itu saya suka dengan kegiatan membaca, saya pernah hampir dipukul sama orang pasar karena mau muncuri buku GBHN dan pancasila. Saya hanya pengen moco di rumah. Buku tersebut hendak saya selipkan di punggung, di balik baju. Tapi keburu ketahuan. Bogem penjual buku serta merta muncul mengancam saya. Mungkin karena saya waktu itu masih kecil dan ingusan, jadi kepalan tangannya sekedar menakuti saya.”

Pak Riyadi melakukan iktikad kurang baik tersebut lantaran perpustaan di sekolah pada masa itu masih belum punya buku bacaan. Beliau pernah bolos pas hari sabtu, mangkir di tempat penjual buku tepatnya di Pasar Lerok. Pasar Lerok adalah pasar mingguan, ramainya hanya hari Sabtu. Di sana beliau membaca buku berlama-lama. Kemudian menemukan nama A. Riyanto.

“Ah, muncul ide nih. Gimana kalau namaku diberi nama Riadi Ariyanto. Dengan mengganti nama Riadi dengan Riyadi, mengganti huruf i menjadi y. Menyesuaikan dengan nama A. Riyanto. Jadi, fix nih namaku Riyadi Ariyanto. Faktanya, nama A. Riyanto itu adalah penulis buku nyanyian. Nama A di depan nama Riyanto itu ternyata Alexius gelar pendeta. Saat itu sedang tren 3 suku nama, misal seperti nama Eka Dewi Sundari. Nah, sementara itu nama karanganku masih dua suku nama. Jadi kurang satu nih, mikir lagi.” Kisah hidup Pak Riyadi unik sekali, membuat geleng-geleng kepala dan merenges-renges.

Dulu, cerita dari Pak Riyadi, semua orang tertarik apabila ada mobil mewah yang lewat atau mejeng di pinggir jalan. Zaman beliau dulu ada mobil Mercy—dengan tipe tertentu—yang mesti lewat ke arah lapangan golf di Glantangan, dan mobil jenis itu terbagus menurutnya pada saat itu.

“Kalau ada Mercy lewat, pasti orang-orang pada takjub, ‘wih. Mercy, Mercy, Mercy!’ Jadi muncullah ide untuk menambah nama Mercy untuk suku nama ketiga dari nama saya, menjadi Mercy Riyadi Ariyanto. Wih, keren!”

Teman-teman nampaknya terdampar jauh oleh kisah-kisah zaman dahulu yang dibawakan Pak Riyadi. Mereka betul-betul hanyut dalam kisah menarik sekaligus lucu. Padahal sebelumnya mau serius dalam pembentukan komunitas. Hehe.

Nama Mercy Riyadi Ariyanto sudah ditetapkan. Malam itu Pak Riyadi kecil merasa bangga dengan nama barunya, beliau merasa nama tersebut bernilai tinggi dan mahal. Semacam mobil mewah yang sering mejeng di Lapangan Golf, Glantangan.

Mobil Mercy ilustrasi
Ilustrasi mobil mercy.

Tapi rasa bangga akan nama baru itu menyusut saat 10 menit pengumpulan nama  di meja wali kelas. Seketika karangan nama yang menggabungkan beberapa fitur-fitur itu mencemaskan. Sadar kalau nama itu terasa menyilaukan bagi Pak Riyadi kecil. Tapi sudah kadung ditumpuk di meja wali kelas. Rasa deg-degan saat menjelang giliran namanya dipanggil.

“Mercy Riyadi Ariyanto!” panggil Pak Wali Kelas, Pak Niman. Pak Riyadi maju ke depan kelas.

Sambil keningnya mengkerut, Pak Niman bertanya, “ini nama kamu?”

Pak Riyadi mengangguk. Serta merta telapak tangan wali kelas itu mendarat ke wajah Pak Riyadi, mengguncangnya kepala Pak Riyadi, seraya berkata, “Dasar! Enggak tahu adus begini pakai nama Mercy, yang benar aja!” akhirnya nama Mercy mantap dicoret. Benar dugaan Pak Riyadi, nama itu memang menyilaukan.

“Mana tanggal lahirnya?” tanya wali kelas.

Nama saja baru dapat, tanggal pula dipertanyakan. Sebab kedua hal itu memang benar-benar tak pernah terbayangkan sebagai hal yang penting dalam kehidupan, dimana sebagai syarat administrasi sekolah dan urusan lainnya.

Dari pada berlama-lama mengarang tanggal, tak seasyik mengarang nama. Tanggal hanyalah angka, pikir beliau. Jadi Pak Riyadi pun terus terang.

“Nama saja lupa, apalagi tanggal lahirnya, Pak!” jawab Pak Riyadi. Dengan cepat, wali kelas membuatkan tanggal lahir, yakni tanggal 1 januari. Untuk tahunnya pun mengira-ngira, menghitung-ngitung perkiraan, jatuhnya pada tahun 1972.

Malamnya Pak Riyadi kepikiran. “1 Januari? Itu kan tahun baru, wah! jadi enggak enak barenangan sama tahun baru. Nah, besok harinya saya jumpai wali kelas, ngintip di ruangannya. Kemudian berkata ‘Pak ganti saja, enggak enak Pak kalau tanggalnya 1 Januari’, begitu kata saya. Permintaan saya dikabulkan, Pak Niman menambahkan angka 0 setelah angka 1. Kemudian tercatatlah saya lahir tanggal 10 Januari. Nah, resmi sudah tanggal 10 Januari 1972 yang tercatat sampai sekarang.”

“Jadi, bagaimana nasib anak-anak yang lain? Apakah mengarang nama dan tanggal juga?” tanya teman literasi kepada Pak Riyadi.

“Saya anak kelima, yang anak ke-1 sampai ke-4 tidak sekolah. Jadi tak pusing memikirkan nama dan tanggal, tak seperti saya.”

“Bapak kok sampai sekolah tinggi? Dapat motivasi sekolah darimana sementara saudara-saudara tertua njenengan tak sekolah,”

“Saya justru mendapat motivasi meneruskan sekolah dari anak yang putus sekolah bernama Rahmat, si Penggembala kambing. Padahal ibu sudah melarang saya untuk sekolah, malah mengajak saya untuk bekerja di kebun, ‘majulah norok ibuk ka kebun karet’ begitu katanya, yang jelas ibu masih belum tahu sekolah itu tujuannya apa.”

Suatu hari, Pak Riyadi, sebagaimana anak-anak kecil pada zamannya, dan masih ada hingga sekarang, kalau ada pesawat lewat mereka berlari sambil mendongak. “Saya sambil berteriak ke atas, berkata ‘menta pessena, kapal! menta pessena, kapal! artinya minta uangnya, pesawat. Minta uangnya, pesawat!”

Suatu hari, Pak Riyadi mengejar pesawat itu dan bertemu dengan Rahmat, si Pengembala kambing. Beliau bertanya kepada Rahmat, kemanakah tujuan orang-orang yang naik pesawat itu. “Ke luar negeri!” jawab Rahmat.

Kata 'luar negeri' itu adalah kata yang terdengar ajaib, ia sama dengan kata Mercy. Apalagi di sekolah Pak Riyadi tidak pernah mendapatkan kata-kata tersebut, justru dari Rahmat, si anak putus sekolah.

Dilain hari, Pak Riyadi nampak lagi pesawat, seperti sebuah kebiasaan beliau mendongak dan meminta uang. Hari itu bertemu dengan Rahmat lagi, beliau sempatkan untuk bertanya lagi. 

percakapan dengan rahmat riyadi Ariyanto
Sebuah percakapan masa lalu.

Maka Pak Riyadi mencatat, ‘luar negeri’ dan ‘bahasa inggris’, dua peristilahan yang tak pernah beliau dapatkan di bangku SD. Apa yang Rahmat katakan pada Pak Riyadi tertanam kuat dalam ingatan. Dua peristilahan tadi itu semacam wejangan motivator yang tertanam kuat, hingga bibit tekad tertanam sejak dini untuk meraihnya. Dari awal Pak Riyadi menetapkan mimpi yang ingin beliau raih.

“Aku harus bisa bahasa inggris dan aku harus bisa keluar negeri naik pesawat. Itulah mimpiku waktu itu!”
“Jadi ketika mendapatkan beasiswa ke Bandung, ada pertukarang mahasiswa Indonesia – Australia. Uang yang dari Australia itu, tak lantas saya berikan ke Ibu, tapi justru saya cari Rahmat. Saya berkata dengannya, 'Mat, saya sudah sampai luar negeri!'”

“Siah!” seru Rahmat.

Area pessenah dolar Australia. Kamu datang saja ke Hamdalah, money charger. Tukar uang ini menjadi uang Jember. Belilah sapi. Sudah ya!” beberapa tahun kemudian setelah itu Rahmat menjadi juragan sapi, beberapa sapinya bahkan ada yang dititipkan ke saudaranya. Bahkan Rahmat menjadi donatur untuk ‘Berbagi Happy’.

Bagi saya bisa kenal dengan Pak Riyadi Ariyanto ini adalah rezeki, kisah-kisah inspiratif pada siang Kamis itu menghidupkan semangat dalam diri saya. Beliau rupanya berangkat dari orang yang tak berada, bagi saya beliau berangkat dari minus. Bayangkan, nama dan tanggal lahir pun tak punya!

Benar-benar rezeki. Tuhan juga mempertemukan saya kepada komunitas, yang orang-orangnya baik. Siang itu mungkin akan terasa ngantuk, tapi rasa itu sirna menjadi semangat.

  H O P E F U L L  

“Jadi, ketika saya keluar negeri, mendapatkan beasiswa, sebenarnya bukan karena pintar, tapi karena hopefull. Ceritanya begini, ada pertemuan mahasiswa pariwisata di di Jakarta. Termasuk Trisakti juga. Saya mewakili kampus pergi ke Jakarta. Ada salah satu mahasiswa dipanggil oleh si pembicara, tapi tak kunjung datang. Melihat pembicara juga belum duduk, kemudian saya angkat kursi lipat warna merah disebelah saya yang kebetulan kosong, menyilahkan pembicara duduk dulu. Sampai pada akhir pembicara ini mengatakan, ‘siapa tadi yang bawa kursi?’ Saya pun mengacung. ‘Itu adalah contoh pemuda pariwisata’ tegas si pembicara itu.”

Sampai akhirnya dua minggu kemudian ada surat pertukaran mahasiswa tourist sementara dari kementerian pariwisata, Pak Riyadi kaget bukan main, surat itu undangan untuk Riadi Ariyanto, untuk dirinya! “Begitulah, sebenarnya saya enggak pintar, hanya karena angkat kursi itu saja, sih. Jadi, saya ceritakan kepada anak-anak. Untuk bisa berhasil harus hopefull itu adalah nomor satu. Suka membantu. Tapi dengan rasa ikhlas.”

Hopefull menjadi senjata sampai sekarang, dimana pun Pak Riyadi berada. “Ketika di Bali pun, saat menjadi mahasiswa magang menjadi pemandu wisata, sata terapkan senjata hopefull ini. Hampir semua orang tertarik kepada saya. Kadang mendapatkan tempat-tempat istimewa. Bos bernama Iman Sutan, orang Padang, pun menyukai saya. Ketika terlihat dia keberatan membawa sesuatu, saya sapa ‘pagi Pak Iman, berat pak, sini saya bantu!’ dari situlah saya sering mendapatkan balasan yang tak terduga.”

Sampai akhirnya beliau menyelesaaikan S-2 di Filipina, dan beberapa kunjungan di kampus-kampus Amerika.

“Jadi intinya itu saya tidak pintar, tapi karena hopefull dan inisiatif saja”.

Sebenarnya masih banyak kisah inspiratif dari Pak Riyadi Ariyanto, tak selengkap tulisan yang Anda baca ini. Mudah-mudahan tulisan ini menginspirasi Anda. 

Yuk, semangat jadi orang baik!

Gemar menulis dan membaca dua aktivitas ini yang menjadi kendaraan saya menjadi penulis, untuk menambah kenalan di Tanah Air maupun luar negeri, yang punya passion sama dibidang literasi.

4 Comment:

  1. Kisah yang menginspirasi layak ditulis dalam sebuah biografi.

    BalasHapus
  2. Lama gak nulis bro. Sibuk banget apa lagi gak semangat menulis? Hehe

    Semangat donggg vrooo!

    BalasHapus

Contact

Kirim saya Email

Hubungi

ContactInfo

Secara etimologis, kata literasi (literacy)berasal dari bahasa Latin “literatus” yang artinya adalah orang yang belajar. Literasi erat hubungannya dengan proses membaca dan menulis. Namun, seiring berjalannya zaman, literasi mengalami perkembangan definisi yang baru, diantaranyaliterasi sains,literasi digital,literasi numerasi, literasi finansial, literasi budaya dan kewargaan. Khusus di website ini, membahas tentang literasi baca dan tulis atau manfaat berjejak hidup lewat kata.

Alamat:

Jln. Sunan Bonang No. 42A, Jember.

Phone:

+62 812 3254 8422

Email:

admin@mediapamungkas.com