Saking riweuhnya mengurusi pekerjaan, saya hampir tak sempat menulis pada website pribadi ini. Tapi saya bersyukur karena pekerjaan baru ini serasa berolahraga meski dalam bentuk pekerjaan. Alhasil, olahraga dan menulis saya mendapatkan peluang kedua-duanya.
Padahal saya sebelumnya berpikir, bagaimana cara agar badan ini berkeringat, artinya bukan berkeringat karena kepanasan oleh ruangan berhawa panas. Kipas angin bukan pula jawaban dari kepanasan karena pekerjaan duduk yang lama membuat punggung akan terasa pedih, persendian pegal-pegal, dan stress.
Bahkan saya sebelumnya mencoret list travelling dalam benak saya. Dan saya memilih untuk terus menggapai mimpi-mimpi yang belum terwujud (baca: pilih stress). Dengan berkeyakinan manusia juga membutuhkan stres untuk meningkatkan daya tahan pada tekanan. Itu alasan saya waktu itu. Mencari pembenaran. Akan tetapi, saya paham kalau stres terus-menerus, tentu saja tidak baik untuk kesehatan.
Seseorang bisa menjadikan pengalaman traveling-nya sebagai buku yang menarik dan bahkan best seller, misalnya seperti karya Agustinus Wibowo, yang telah menerbitkan buku catatan perjalanan dengan judul “Titik Nol, Makna Sebuah Perjalanan”.
Nah, saya akhir-akhir ini sering travelling di enam kota yang berbeda. Ya, ya, ya, beda dengan Agustinus, ia traveller ke China, Pakistan, Afganistan dan lain-lain negara. Kesamaan dengan saya adalah sama-sama jalannya. Hehe.
Sudah genap satu bulan saya bekerja di tempat baru. Awalnya saya berpikir kalau bekerja di sini pasti tak sempat menulis atau membangun relasi. Artinya stagnan. Pikir saya seperti itu.
Saya bekerja di ekspedisi, kawan. Saya bekerja di cabang Jember bagian distribusi. Orang-orang Tapal Kuda lebih suka menyebut pekerjaan saya ini sebagai “paketan” ketimbang “ekspedisi” ataupun "cargo".
Olahraga pada pekerjaan saya itu bentuknya adalah; mengangkat kotak, menggelindingkan kotak, memutar-mutarkan kotak, membongkar kotak, me-wrapping kotak, dan memutar-mutarkan otak; “bagaimana caranya agar bisa menulis sementara sesudah kerja dengan kotak-kotak ini, otak jadi kecapean?”
 |
Mengetik di atas kardus ketika senggang.
|
Awalnya pusing memikirkan bagaimana cara meluangkan menulis. Tapi setelah direnungkan rupanya saya adalah manusia yang kurang bersyukur. Ya, kurang bersyukur! Sebab saya telah menemukan jawaban dari doa saya, yang ingin olahraga, menulis, dan travelling. Dan semuanya terwujud.
Loh kok bisa?
Karena perusahaan ekspedisi tempat saya bekerja itu masih perusahaan kecil, maka untuk penyediaan fasilitas masih diminimalisir. Termasuk pegawainya masih dibatasi. Saya sebenarnya berpeluang untuk mengambil bagian administrasi, dan peluang itu saya ambil sekaligus menjadi seorang kernet alias pembantu supir. Baiklah, saya coba!
Awalnya sangat melelahkan. Karena kami (yang bekerja di sana) minim pengalaman. Manajemen waktu masih belum terbentuk. Walhasil, sering pulang malam. Pernah menghantar dari pagi sampai jam 11 malam. Masih mau menulis? Langsung tidur, malah.
Kemudian, setelah manajemen waktu terbentuk, maka kami pulang paling lambat jam lima sore. Jadi pelajaran yang bisa saya petik dari pengaturan waktu adalah
Semua orang memiliki jumlah waktu yang sama dalam sehari, yakni 24 jam. Akan tetapi, tidak semua orang mampu memenejeri 24 jam secara bijak.
Menjadi kernet (baca: traveller) tak buruk juga. Sttt... dari sana saya bisa travelling hingga stres semakin pupus. Serius! Kok bisa? Beginilah yang akan saya paparkan manfaat menjadi traveller, berdasarkan pengalaman pribadi.
Bekerja di paketan membuat saya sering travelling, saya merasakan jauh lebih sehat daripada sebelumnya. Selain itu, saya merasakan kinerja otak meningkat serta mengurangi stres. Mungkin karena selama berjalan saya sering banyak menjumpai orang-orang (penerima paket) dan tentunya sering menggerakkan tubuh sehingga kesehatan jantung, otot, dan persendian lebih terjaga.
Saat bekerja di paketan, saya sering mengunjungi banyak tempat baru. Dalam proses menjelajahi dan mengenali tempat baru tersebut, saya sempatkan untuk memotret pemandangan baru, mencoba makanan atau hasil bumi yang khas ataupun bertemu masyarakat sekitar yang memiliki tradisi dan kebudayaan berbeda. Sebagaimana contohnya ketika saya singgah di sebuah Desa Darungan, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang. Sebuah tempat yang kanan dan kirinya terdapat kebun salak. Memang salak pronojiwo terkenal khas dengan rasa manis. Penerima paketan, Pak Sarjo, menghidangkan kopi susu. Rumah kediamannya diantara kebun salak dan memang ia adalah pemilik lahan tersebut. Kepulan kopi susu menyertai kami dengan kehangatan cerita sewaktu beliau masih di perantauan, Malaysia. Perbincangan itu berlangsung cepat, kira-kira 15 menitan. Saya harus bergerak cepat kalau tidak bakal pulang malam. Apalagi saya pernah merasakan sebelumnya di tengah perjalanan kabut Piket Nol, benar-benar kabutnya sangat tebal.
 |
Kanan kiri kulihat ada kebun salak (bukan stobery)
|
 |
Sangu salak pronojiwo diambil dari kebun langsung.
|
Kisah menyedihkan juga saya terima saat menghantar ke Dusun Karang Nangkah, Desa Bungatan, Situbondo. Rupanya si pengirim kotak paketan telah meninggal terlebih dahulu karena covid-19. Jasadnya dimakamkan di Malaysia. Keluarga penerima sempat terlihat senang saat kedatangan kotak paketan dan setelah saya menyeruput Sisri, saya baru tahu saat mereka bercerita, mereka memasang muka sedih karena mengetahui kenyataan orang yang mengirim kotak paketan dipanggil lebih dahulu sama Yang Maha Esa. Rencana awal, pengirim (dari Malaysia) ingin menerima sendiri paketannya. Qodarullah, rencana Yang Atas lain. Sungguh kisah sedih itu menusuk kalbu saya, bagaimana tidak, karena saya pernah merasakan beratnya rindu ini berjauhan dengan orang yang disayang di kampung halaman.
Ada tempat indah, saya menyebutnya sebagai, “Negeri diantara Lembah” ketika menghantar kotak paketan ke Desa Bulurejo, Kecamatan Tempusari, Lumajang. Tempatnya dikelilingi oleh pegunungan tinggi berkabut, seolah Tempusari disayang oleh gunung. Untuk menuju ke Tempusari diperlukan dua jam perjalanan dari persimpangan Piket Nol. Sangat menegangkan karena jalan kecil dan menanjak. Ketegangan itu seolah dibayar ketika sudah sampai di daratan bawah oleh terpajangnya sawah-sawah hijau, terhampar luas, saat itu saya melihat bangau-bangau putih berputar berlahan ke lautan hijau persawahan, anak-anak berkopiah nusantara memeluk Iqro-nya siap-siap pergi mengaji, semua terlihat indah dan magis. Bu Suhermin, penerima paket itu, mempersilakan kami untuk pinarak, beliau akan menyeduh minuman dulu. Tapi kami berterima kasih atas tawarannya tersebut, kami harus cepat-cepat naik ke atas atau Piket Nol, sebelum awan-awan hitam meluruhkan air.
 |
Tempursari, sebuah tempat yang indah. Untuk ke sana harus "tempur" dengan jalan panjang.
|
 |
Seseorang dengan menggonceng rumput.
|
 |
Indah, kan?
|
Dilain tempat, saya seakan dibawa oleh masa lalu saat melihat beringin besar, dibawah naungan rindang itu ada beberapa anak-anak mandi di kalen (sungai kecil), airnya sangat jernih. Anak-anak itu telanjang bulat, ada yang masih pakai celana dalam. Mereka sangat ceria beradu kesenangan. Indah betul dunia mereka. Mereka masih belum pusing mikirin dunia. Itu saat saya menghantar ke Desa Dawuhan Wetan, Kecamatan Randu Agung.
 |
Di sisi kanan pohon ini ada anak-anak yang asyik berenang pada sungai yang jernih. |
Semua pengalaman baru itu memberikan kesan tersendiri dalam ingatan saya, kehidupan itu berwarna-warni, mengenai; duka, sedih, sesal, marah, tangis, harapan, dan kopi.
Pasca pulang mengantar paketan, biasanya pikiran saya lebih segar karena banyak pengalaman yang didapat selama perjalanan. Hal positif tersebut membuat otak saya menjadi lebih kreatif. Dengan begitu, saat kembali mencoba menulis, kondisi mental layaknya baterai yang sudah terisi penuh. Produktivitas pun otomatis naik.
Bagaimana tidak, sebab hal-hal yang ditemukan saat mengantar paketan bisa menjadi sumber inspirasi.
Mungkin Anda, yang kebetulan membaca tulisan saya ini, berpikir, "kok bisa ya antara penerima paketan dan kurir terjadi komunikasi, setahu saya kurir setelah hantar paketan langsung cabut?"
Nah, paketan yang saya distribusikan ini massanya berat, bahkan lebih berat dari berat tubuh saya. Paling ringan itu kira-kira 20 kiloan. Saat mengangkat kotak paketan saya berpeluang masuk ke rumah penerima. Tentunya dengan keadaan ngos-ngosan, penerima terketuk hatinya dengan sendirinya membuatkan minuman, disitulah mulai interaksi. Nah, terjawab sudah.
 |
Nyeripit kopi dulu, terima kasih saudara!
|
Bekerja sebagai kurir paketan membawa saya bertemu dengan banyak orang baru. Orang-orang baru tersebut datang dari berbagai latar belakang, seperti petani, guru, mahasiswa, dosen dan berbagai latar belakang lainnya.
Dengan membangun komunikasi pada orang-orang yang saya ditemui saat “travelling”, saya sekaligus memperluas jaringan. Bukan tidak mungkin, orang-orang tersebut akan menjadi mitra bisnis saya. Mungkin di masa depan. Mungkin saya bisa dengan jualan salak. hehe...
 |
Menyinggahi dari masjid ke masjid yang lain.
|
Itulah manfaat-manfaat yang bisa saya dapatkan saat menjadi
traveller lewat kurir.
 |
Rasa bersyukur ketika melihat ke bawah.
|
Kesimpulannya, penulis bisa datang dari latar belakang apa pun. Termasuk kurir. Jadi, harus bersikap terbuka, adaptif, serta lebih toleran terhadap keberagaman latar belakang. Meskipun terlihat remeh.
Jadi Anda ingin jadi seorang kurir untuk bisa menikmati pengalaman-pengalaman yang menarik seperti saya? Hehe. Tidak harus.
Yang penting kita harus bersyukur apa pun keadaannya, sehingga keadaan akan terasa nikmat.
 |
Kepuasan Anda, adalah kepuasan kami. Nampak pelanggan tersenyum puas dengan paketan yang diterima. |
0 Comment:
Posting Komentar