Sesuai dengan janji saya yang akan mereview buku autobiografi "Catatan Putri Makkah", karya Muna Abdullatif. Hari ini ada kesempatan menulis review, setelah tanggal 11 Febuari 2021, pada petang hari, buku akhirnya sampai di Jember, pengiriman dari Bandung. Tapi, tunggu dulu, ini Bandung yang mana ini? Apa Bandung Pandeglang, Bandung Sukabumi, Bandung Garut? hehe. Biasanya orang Jawa bagian Barat atau sebaliknya Jawa bagian Timur, ketika menjelaskan asalnya kepada orang jauh tidak mau ribet. Hehe.
Kembali ke pembahasan. Buku bercorak hitam elegan ini diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Rumah C1nta. Keunikan buku ini pada jumlah halamannya. Oleh karena buku ini terdapat dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan Arab, atau bilingual, maka halamannya terdiri dua jenis halaman. Jika dibuka dari muka sampul kiri bagian isinya dimulai dari bahasa Indonesia terdiri dari halaman i-xvii sampai 182 halaman, jika dibuka dimulai dari kanan, maka berbahasa Arab terdiri dari halaman i-xii sampai 158 halaman. Terbit pada November 2020. Dengan jenis kertas bookpaper. Jenis kertas yang saya sukai. Saya membelinya secara langsung kepada penulisnya, Muna Abdullatif.
 |
Lembar dari kiri berbahasa Indonesia.
|
 |
Lembar sebelah kanan berbahasa Arab.
|
Sinopsis yang saya dapatkan sebelum membeli:
Perjalanan yang sukses bukan terbentang dengan bunga akan tetapi penuh tantangan dan perjuangan. Buku Catatan Putri Makkah ini bukan sekadar catatan namun nasihat yang bermakna dari sebuah perjalanan meraih kesuksesan dunia dan akhirat.
Lembar demi lembar kisah dalam buku ini sarat dengan hikmah dan pelajaran. Kisah demi kisah tertoreh dengan bahasa sederhana dan mudah dipahami. Berbalut dengan nasihat dan mauidhoh hasanah yang bersumber dari ajaran Islam yang lurus.
Pilihan untuk nikah muda, hingga menjadi ibu di saat orang sebaya sedang asyiknya di bangku kuliah menjadikan penulis lebih dewasa. Semakin banyak tantangan kehidupan di depan hingga menjadikan penulis menjadi pribadi yang matang dan selalu energik. Berani keluar dari zona nyaman. Setelah sukses dengan home industry di negeri perantauan, namun penulis memilih untuk kembali ke tanah air demi buah hati. Memang hidup adalah pilihan. Menginspirasi.
***
Penulisnya berasal dari Palembang, yang dilahirkan dan dibesarkan di Makkah – Arab Saudi pada 9 juni 1990. Penulis merupakan anak bungsu dari enam bersaudara. Nah, dari profil singkat ini saja sudah membuat saya tertarik untuk membeli. Kenapa? karena background kelahiran penulisnya sendiri, kemudian sekarang tinggal di Indonesia, pastinya ada perbedaan budaya yang mencolok. Saya juga ingin tahu seperti apa rasanya tinggal dan besar di kota suci. Apalagi digambarkan oleh genre autobiografi, tentunya dari kisah nyata.
Yang membuat saya nyaman membaca adalah bahan kertasnya yang lembut, layout tulisan yang rapi, block quote menginspirasi. Selain tentunya konten ceritanya yang menarik untuk terus dibaca sampai tamat. Tokohnya di dalam buku ini adalah si penulisnya sendiri, yakni Muna Abdullatif. Penulisnya bertutur secara jujur dan apa adanya.
 |
Makkah. (photo: beautyofmosques.wordpress.com)
|
Meskipun telah lama tinggal di Makkah, Muna kecil membayangkan negeri asalnya, yang walaupun menurut pribadi saya negeri ini masih banyak kekurangan akan tetapi Ibu Muna menggambarkan bagaimana kelebihan negerinya, salah satunya mengenai keindahan alamnya. Ibunya bercerita bahwa Muna di negeri asalnya bisa bermain di tepi sungai, mungkin bisa juga nyemplung, memanjat pohon, menikmati buah yang bisa dipetik sendiri, bersepeda di sekitar sawah, bermain layang-layang dan keseruan dimasa anak-anak lainnya. Dari sini, saya bisa mengambil pelajaran, kekurangan di negeri ini di mata saya, mungkin dirindukan oleh seseorang nun jauh di sana. Sebagaimana Ibu Muna yang menceritakan negeri asalnya, Indonesia. Kelebihan di negeri saya ini harus dihitung, dan disyukuri. Itulah nikmat yang bisa menutupi kekurangan yang mungkin jumlahnya tak banyak dibanding kelebihannya. Alhamdulillah.
Dari buku autobiografi ini, saya mengambil pelajaran bahwa sesuatu yang ada itu harus disyukuri. Termasuk tempat tinggal kita sekarang ini. Bagaiamana pun kerinduan akan Tanah Air, ketika sampai pula maka Muna terbayang tempat tinggal dulu, tepatnya di halaman 21:
"Kini, setiap menyadari betapa dekatnya jarak tempat tinggalku dulu...ke Masjidil Haram kurang lebih 15 menit menggunakan mobil...shalat di depan ka'bah, tawaf, umroh, bahkan haji. Alhamdulillah sudah berkali-kali selama tinggal di sana."
Tempat kita dilahirkan pasti mengandung hikmah tertentu, tinggal bagaimana kita mengambilnya dan menyikapinya. Begitulah kiranya kita memerlukan sikap bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla.
Dari tulisan Muna saya dapat gambaran bahwa di Makkah pun ada manusia-manusia yang sifatnya tercela. Muna menegaskan di halaman 42,
"Dimanapun ada yang baik dan ada yang buruk, percayalah itu!"
Sehingga saya pun ingat akan hadis Rasulullah, ketika Aisyah bertanya ‘Bersama setiap manusia apakah ada setan?’ Nabi menjawab, `Ya.’ Aisyah bertanya, ‘Termasuk engkau wahai Rasulullah?’ Nabi menjawab, ‘Ya, akan tetapi Rabbku menolongku atasnya sehingga dia masuk Islam.‘” (Diriwayatkan oleh Muslim).
Muna di sana sempat di-bully karena berbeda asal keturunan, berbeda warna kulit dan berbeda bentuk hidung. Saat itu Muna masih SD. Muna berpendapat bahwa anak SD itu tidak salah, akan tetapi mereka jelas meniru kebiasaan orang tua yang rasis. Seperti mengatakan, "Ya, Jawa!" hanya karena hidung pesek. Maka dari itu, anak-anak mereka pun meniru kebiasaan orang tua mereka.
***
"Teruslah menebar manfaat, sarjana ataupun bukan, dipuji ataupun dicela, disukai ataupun dibenci, fokus ke tujuan utama, hanya mengharap ridho-Nya" Putri Makkah.
Di buku ini ada nilai parenting (cara mengasuh dan mendidik anak) yang saya dapatkan, salah satunya harus bertanya kepada anak setiap kali pulang dari sekolah. Agar tahu bahwa di sekolah mereka tak ada sesuatu yang buruk menimpanya atau minimal ada interaksi antara orang tua dan anak.
Buku ini rekomendasi untuk remaja yang telah habis masa pendidikan sekolah menengah atas. Mungkin masih bingung antara kuliah atau menikah belia? Hal itu adalah pilihan pribadi, akan tetapi jika hal tersebut diniatkan untuk mencari ridho-Nya, insyaa Allah akan ada jalan kemudahan. Sebagaimana Muna yang menikah pada usia 20 tahun. Justru banyak hikmah dan pelajaran yang bisa dipetiknya.
Nah, penasaran kan kelanjutannya seperti apa setelah Muna tinggal di Indonesia dengan segala perbedaan yang jauh dari tempat tinggalnya dulu, Makkah. Sila kontak langsung di instagramnya @muna_abdullatif.
Sekian review saya. Terima kasih telah membaca.
Yang paling keren dari buku ini karena diterjemahkan ke dua bahasa dan ditulis berdasar pengalaman nyata. Soul-nya berasa.
BalasHapusPengalaman yang nyata mestinya tidak ada unsur rekaan.
HapusTerima kasih komentarnya.
Kita tidak bisa memilih di negeri mana kita akan dilahirkan. Karena itu takdir dan pasti ada tujuang Allah memberi takdir itu. Jadi emang harus bersyukur yaa
BalasHapusBersyukur bukan cuma dengan ucapan "alhamdulillah", tapi bersyukur dengan cara menerima keadaan.
HapusTerima kasih komentarnya.
Pengen juga mereview, eh keduluan pak Sa'ad. Ada hal menarik dari buku ini menurutku, yg membuat ingin mereview. But, baca blm selesai ......
BalasHapusAyo dibaca sampai tuntas! Soal review mesti berbeda.
HapusSemangat!
Sangat recomended unyuk dibaca. Buku yang luar biasa, banak kisah, perjuangan yang belum pernah kita lalui, tapi sudah dilalui oleh penulis. Review nya keren juga ayah sa'ad
BalasHapusTerima kasih Ayah Ugi telah mampir. Anda juga hebat!
HapusMasyaAllah, jujur setelah baca ini kok Saya jadi pengen punya bukunya ya
BalasHapuscus, langsung beli. Hehe. Muna itu masih satu grup dengan TJI. cus dah....
HapusBuku yang keren...pake dua bahasa. Biasanya Inggris dan Indonesia, ini Indonesia dan Arab...kebayang gimana nyusin yang bahasa Arabnya. Ane aja lum lulus nahwu sharaf.
BalasHapusIya, apalagi saya. Baca aja belum bisa. wkwkwkw
HapusWah, sepertinya bukunya sangat menarik ya... aku jadi kepengen baca juga,,,
BalasHapusCusss Kak Ros, bisa beli langsung ke penulisnya. Penulisnya masih satu grup dengan kita.
Hapus