Hari rabu, 17 Februari 2021, jam 9:00.
Bertempat di Perpusda Jember, kami; saya, Bu Suci, Mas Gusnov, dan Mas Gunawan berdikusi mengenai literasi Jember. Tepatnya di ruang kerja Bu Suci. Bu Suci—seorang pustakawan dan beliau menyebut dirinya sebagai penggerak—bersedia menampung ide-ide pegiat-pegiat literasi di Jember, cangkupannya di wilayah Tapal Kuda. Tapi, beliau akan tetap menampung ide meskipun orang itu di luar Tapal Kuda.
“Asal ada kesempatan dan mampu, saya akan membantu, sebab saya suka bergerak bersama-sama, maju bersama,” terang Bu Suci waktu itu.
Mas Gusnov yang berasal dari Bondowoso termasuk pegiat literasi dengan banyak ide inovatif yang dibawanya. Termasuk ide di bidang literasi ekonomi. Sebagaimana diutarakan pada hari itu bahwa ada peserta anak didiknya sejumlah 40 orang yang magang di yayasannya di Bondowoso. Sejumlah anak didiknya itu nantinya magang di wilayah Tapal Kuda, untuk pendataan UKM, mendata sembako, yang terbagi per-kecamatan supaya bisa mendata jenis UMK dan bahan-bahan apa saja yang tersedia dari hulu ke hilir. Mas Gusnov yang memiliki website www.lingkarbudaya.com, mengatakan bahwa anak didiknya akan ditugaskan untuk membuat jurnal. Sehingga menjadi big data. Misal data sembako beras, dari distributor ke petaninya di mana saja tempatnya. Kegiatan ini nantinya akan berencana menggandeng Universitas Muhammadiyah, berdialog bertema literasi ekonomi atau pelaku usaha. Kemungkinan juga bisa memberi maklumat kepada Dinas Perindustrian dan Perdagangan (disperindag) mengenai ide dari Mas Gusnov ini.
 |
dari kanan, Bu Suci, Mas Gun, saya, dan Mas Gusnov
|
Ide-ide yang diungkap Mas Gusnov berasosiasi dengan jabatan Bu Suci sebagai pendiri dan pembimbing pro-UKM dan pariwisata di Jember. Bu Suci mengatakan kita bisa sukses dengan selangkah lebih maju kalau punya legalitas. Artinya, suatu pergerakan itu sangat penting sekali apabila memiliki keabsahan dengan berbadan hukum.
Perbincangan berlanjut mengenai perkembangan literasi sastra di Jember. Jika diamati ada beberapa tokoh literasi sastra di Jember yang serupa; masing-masing akan mencoba menawarkan berbagai jalan untuk menyemarakkan literasi kepada khalayak. Pokoknya bagaimana caranya supaya literasi di Jember ini lebih ramai. Tapi jangan sampai melupakan jasa-jasa orang-orang yang sudah atau pun akan membesarkan nama kita. Termasuk anak-anak kecil, anggaplah masih SD, yang berkunjung di taman bacaan. Sepintas, mungkin kedatangan mereka mengganggu dengan sifat keanak-anakannya.
“Slow saja, kalau anak-anak kecil datang mendekat ke arah buku, beri aturan seperlunya saja, jangan terlalu keras memberi aturan ‘ini’ dan ‘itu’ harus ‘begini’ dan ‘begitu’. Sebab anak-anak itu adalah generasi penerus bangsa. Diantara mereka siapa tahu ada yang jadi penulis, misalnya,” kata Mas Gunawan.
Sebab jika jasa-jasa orang-orang itu dilupakan, maka reputasi literasi akan tercoreng dan dampaknya literasi yang selama ini dianggap sepi, akan terus seperti itu. Sepi dan asing.
Kemudian pembicaan beralih kepada maestro-maestro kebudayaan yang cangkupannya daerah Tapal Kuda. Seperti maestro pelukis, ada nama Pak Ketut, yang sekaligus menjadi pengajar bahasa tutur dan mendongeng.
Ada juga nama Embah Fadli yang menggagas monumen Gerbong Maut.
“Karya-karyanya masih banyak ditemui di balai pustaka. Jejak Embah Fadli banyak di majalah horizon, karena ilustrasi dia yang sering buat,” terang Mas Gunawan.
Mas Gusnov juga menyebut nama Remo Sutinah, yakni seorang perempuan yang menciptakan Tari Remo yang berasal dari Bondowoso.
Kemudian perbincangan literasi budaya lebih kritis lagi ketika bertanya siapa maestro atau budayawan yang mempertahankan ketahanan budaya lokal atau masih yang dilestarikan karyanya. Ketua Srawung Sastra—Mas Gunawan—langsung menyebut Ludruk yang diciptakan Bu Lilik. Bahkan Bu Lilik masih menyimpan naskah Sogol, yakni kisah pendekar Sumur Gemuling. Dari sebuah cerita, berkembang menjadi Sogol sendratari.
Lalu, ada nama Embah Karno dibidang pendalangan, karawitan, dan kemungkinan akan menjadi embrio terbaru pada masa depan.
Dan beberapa produk budaya seperti tarian Tabutaan, Patrol dan Macopat juga tak luput kami bincangkan keberadaannya.
Banyak sebenarnya tema perbincangan kami yang belum tertulis di sini. Masih dengan tema literasi dan budaya.
Sehingga, tak terasa, waktu itu perbincangan ringan dan asyik itu sampai hampir jam dua siang, masing-masing dari kami undur diri.
0 Comment:
Posting Komentar