Dia kucing kampung. Entah, sejak kapan dia datang. Siapa pun mungkin tak bersedia mencatat kedatangannya. Dia berbulu warna merah kekuning-kuningan.
"Kucing buluk," kata istri.
Awalnya aku tak sudi dia masuk ke persekitaran rumah, tapi dia justru berlama-lama di persekitaran rumah. Jika melihatnya, jijik campur iba yang ada. Mata sebelah kanannya sakit, semacam ada selaput putih yang menutup pupilnya, sementara mata kiri normal. Moncongnya hitam lusuh. Beberapa bulunya rontok, utamanya di sekitar lehernya. Semacam bekas cakaran. Mungkin cakaran kerasnya dunia perkucingan. Beberapa kali kalau malam aku mendengar dia menggeram dan aku pernah melihat kucing itu mendongak menyikat lehernya membabi buta dengan cakarnya hingga hujan senja berjatuhan di sekelilingnya. Suara hati pun terbit demi melihatnya, 'Kasihan. Siapa tahu dia sukar menguber buruan dengan keadaan seperti itu'.
Pernah suatu ketika, saat aku berangkat kerja, kucing ini berdiam diri di teras. Berdiri bulat-bulat. Pun sampai pulang kerja kucing ini masih tetap pada posisinya. Sambil memandangiku. Aku merenunginya, meskipun dia kumuh dan jelek, dia tak pernah sekalipun menyerobot masuk rumah sebagaimana dilakukan kucing putih bersih bermata bulat yang menggemaskan. Kucing bersih yang pernah kudapati menjilat sisa minyak penggorengan di wajan, hingga membuat istri memekik, "Aduh! Toksoplasmosis!"
Aku putuskan untuk membelikan kucing kampung itu makanan kota, makanan praktis dan tanpa duri, yakni biskuit bentuknya bulat-bulat kecil, aromanya ikan. Kalau kata istri menyebut makanan itu sebagai "whiskas tanpa merk."
Suatu hari aku ketiban lampu ide. "Begini Cing," kataku kepada kucing kampung itu. "Kalau kamu dalam seminggu ini berada di sini terus. Aku akan hadiahkan kamu sebuah kisah yang tertulis tentang kamu." Memakai bahasa kucing, yakni tanpa suara. Begitu kataku kepada kucing.
Challenge pun bergulir. Seminggu sebelum aku menulis kisah kucing oranye itu, "itu gampang!" mungkin itu seruan dari hati kucing oranye. Dari hari kesatu hingga ketujuh, dia teguh berdiri, selalu terjaga, dan responnya sangat cepat jika aku datang menghampirinya. Jadi, aku pun menuangkannya lewat tulisan ini. Bahwa kucing ini bermartabat, dia lebih berliterasi dibanding makhluk-makhluk lain yang aku temui selama seminggu challenge berlangsung.
Karena dia terus-terusan di persekitaran rumah, maka aku pun berkata kepada istri, "panggil saja dia security." Suatu waktu, ketika aku lupa dan lupa untuk sekian kalinya untuk membeli "whiskas tanpa merk", tapi rezeki datang dari dapur untuk security, beberapa kepala pindang beserta duri dan huruf V di ujung durinya kami putuskan untuk diamalkan kepada security. Istri mengadon nasi dengan pindang untuk security, kemudian menyuruh saya untuk diberikan kepada security. Aku pun berbisik kepada istri, "bagaimana kalau tetangga sebelah mendengar perbincangan kita ini, menyangka kita punya security." Setelah itu mungkin tetangga mendengar tawa kecil istriku itu.
Kini sudah berbulan-bulan security di rumah. Menjaga rumahku dari sesuatu hal, mungkin tikus atau ular atau kalajengking atau dari jin. Konon pula, pernah kudengar bahwa kucing bisa menyerap energi negatif.
Setidaknya security telah lulus tantangan dariku, pun dia telah membina kelegaan dalam hati. Kelegaan mengenai brosur-brosur literasi yang kusebarkan ke penjuru kota. Melangsungkan manuver-manuver bimbingan gratis menulis. Tapi sayangnya tak ada respon sama sekali, tapi justru lewat security aku dapat kelegaan, bahwa dia seorang, bukan, maksudku dia seekor yang lebih berliterasi dibanding ekor-ekor lainnya.
"Begitukah?" tanyaku kepada kucing itu.
(Cerpen diambil dari kisah nyata).
0 Comment:
Posting Komentar