Tim Kejaksaan Negeri Lhokseumawe menggelar eksekusi hukum cambuk untuk pasangan bukan muhrim di Stadion Tunas Bangsa, Mon Geudong, Kecamatan Banda Sakti, Jumat (5/2/2021) sore.
Saya selalu mencari berita terbaru di kanal Kompas. Karena di Kompas, sesuai dengan slogannya "kabar harian terbaru terpercaya terlengkap". Tulisan pembuka di atas ini, atau yang tertulis tebal, kalau tak cermat sepintas sudah benar. Apalagi background penulisnya—saya percaya—ditempati oleh jurnalis-jurnalis profesional handal dengan produk jurnalistik terbaik. Tapi, seperti pepatah “sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga” seperti itulah perumpamaan yang saya dengar ketika masih duduk di bangku SMP. Jurnalis yang menulis di portal web tersebut “jatuh” pada kata “muhrim.”
Layak rasanya jika jurnalis itu diibaratkan “jatuh” dari pohon dunianya. Tidak bisa memungkiri bahwa setiap tulisan pasti ada kesalahan, entah itu besar ataupun kecil. Semua kembali kepada jurnalis atau penulis itu sendiri, apakah tetap mau menjalankan tugasnya sebagai penulis yang terus upgrade dengan terus belajar atau hanya mementingkan kepentingan pribadi “yang penting sudah kontribusi”.
 |
Intisari berita Kompas selama per tahun.
|
Layaknya saya, dalam perjalanan menjadi penulis, tanpa ada basic kampus linguistik atau tepatnya otodidak, saya memakai asas yang penting menulis setiap hari, terus belajar dan share ke orang yang biasanya membantu memperbaiki tulisan saya. Hasil dari share itu, beberapa orang dengan gelar ilmu linguistik atau yang telah berpengalaman banyak, dengan senang hati merevisi tulisan kesalahan dan kekurangan tulisan saya di sana sini. Rupanya saya masih banyak kesalahannya. Inilah perlunya seorang teman, relasi, atau komunitas yang sejalur. Mereka saya sebut dengan teamwork. Meminjam quote dari founder Surat Kabar Kompas, Pak Jakob Oetama:
“Saya mau teamwork, karena saya tidak tahu semuanya. Kalau saya tahu semuanya, saya tidak perlu teamwork”
**
 |
Mendiang Pak Jakob Oetama (photo:detik.com)
|
Kata muhrim ditinjau dari akar bahasa artinya orang yang memakai ihram (dalam ibadah umrah dan haji). Jika yang dimaksud “bukan muhrim” itu orang yang berlainan jenis kelamin kumpul jadi satu sehingga dinilai haram disisi agama, maka yang benar adalah mahram. Mahram dipakai pada konteks nasab atau keturunan dan pernikahan.
Tapi terlanjur salah kaprah, masyarakat Indonesia terlanjur kenal dengan kata muhrim yang diartikan orang yang haram dinikahi. Kalau dianalisis lebih jauh, dalam Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, penyusun Daryanto S.S, justru tak ditemukan kata “muhrim”, yang ada kata “mahram” dengan keterangan:
Mahram (n):orang (perempuan, laki-laki) yang masih termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, susunan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah…
Begitu pula di Kamus Ilmiah Populer, penyusun Mangunsuwito, tak ditemukan kata “muhrim”, justru kata “mahram” dengan penjelasan lebih singkat:
Mahram : yang haram dinikahi (keluarga).
Dan pada situs resmi kbbi.kemdikbud.go.id, dengan gamblang menjelaskan arti kata muhrim:
1. n Isl orang yang sedang mengerjakan ihram
2. n Isl orang laki-laki yang dianggap dapat menjaga dan melindungi wanita yang melakukan ibadah haji dan/atau umrah.
**
Setelah ada wawasan kesalahan penggunaan kata “muhrim”, saya menaruh syak jangan-jangan masih ada kesalahan lainnya. Kemudian di kolom search bagian atas website Kompas, saya bubuh kata “bergeming” sebab kata ini sering kali dipakai oleh penulis atau jurnalis dengan cara yang tak benar, termasuk saya dulu.
Saya menemukan judul artikel “Suku Bunga AS Naik, Bank Sentral di Asia Tak Bergeming” yang diunggah pada tanggal 22 Juni 2017. Karena padanan kata dari kata “tak” atau “tidak” dan “bergeming” atau “diam”, jika difrasakan menjadi “tidak diam” atau “bergerak”.
Jika melihat konten tulisannya, dapat disimpulkan bahwa judul kurang tepat jika yang dikatakan bergerak. Karena tak ada kalimat yang menunjukkan “bergerak”, malah sebaliknya “diam” atau “bergeming”, seperti pada kalimat, “Bank sentral China pun memutuskan untuk tidak mengubah suku bunga acuannya. Padahal, biasanya PBoC kerap bereaksi menaikkan suku bunga acuan setelah The Fed menaikkan suku bunganya.”
Kesimpulannya:
Sebagai jurnalis atau penulis, pemula atau pun sudah berpengalaman, memang harus tetap sering berlatih menulis dan membaca. Dan agar tulisan semakin bertaraf, pada saat membaca jangan hanya dibaca, tetapi juga dianalisis. Agar kritis dalam berfikir dan menciptakan ide-ide baru dalam menulis.
Semoga menginspirasi!
0 Comment:
Posting Komentar