Ini adalah tulisan yang ke-89. Usaha menulis setiap hari memang saya canangkan
terhadap diri saya sendiri.
Sebagai orang yang pernah duduk di bangku kampus
tapi tak sampai meraih gelar kesarjanaan, tapi saya yakin semua seisi dunia ini
ada pembelajarannya.
Bahkan semut, dan renik kuman sekalipun. Maka dari itu
menulis setiap hari bisa diajarkan terhadap diri sendiri.
Yang memotivasi saya untuk memprogram diri menulis setiap hari sebenarnya salah satunya dari
A.S Laksana. Melalui buku Creative Writing-nya saya terpacu mengadopsi wejangannya.
Bahwa, "siapa pun bisa menulis, asal action, bukan sebaliknya: banyak mikir tapi tak berbuat apa-apa," begitulah yang saya ingat pesan yang bisa saya petik dari buku corak hitam
karyanya.
Namun, tidak dipungkiri, dalam perjalan program ini ada saja kendala yang
mewarnainya. Salah satunya status orang sekeliling saya, utamanya istri dan
anak. Mereka juga perlu tangan saya, sebagaimana tulisan yang tercipta ini.
Seringkali tangan saya mengulur ke mereka, mereka juga perlu perhatian dengan
sentuhan tangan saya.
Mengganggu?
Ya, tentu saja sangat mengganggu. Mengganggu bagi orang yang picik pikirannya.
Kehadiran keluarga tentu saja erat kaitannya dengan bahtera hidup yang bisa mengantarkan dari yang hidup semakin hidup. Keluargalah
bisa menjadi bekal untuk mengantarkan seseorang dari yang baik semakin baik.
Dunia hanya sementara, ada yang kekal tapi tak kunjung datang. Tapi jangan lupa,
kedatangannya tak terduga-duga. Siapa tahu sebentar lagi, siapa tahu setelah
membaca tulisan ini. Makanya, innallaha ma ashobirin, sesungguhnya Allah bersama
orang-orang yang sabar. Saya harus sabar.
Sabar adalah pelajaran yang tiada hentinya selama kita masih hidup.
Saya, terpikir untuk jeda menulis. Entah berapa hari, beberapa minggu, beberapa
bulan. Bukan berarti mandeg sama sekali. "Kadang penulis itu perlu kontemplasi,"
begitu kata Pak Bambang Trim. Saya ingin menghidupkan karya-karya saya yang mati
suri, diantaranya yang berada di draft, di buku diari, di ingatan. Diantara ide
yang muncul untuk menghidupkan tulisan-tulisan itu, saya menghidu api yang
sangat panas. Yakin, ada unsur ledakan yang kuat alias booming.
Kenapa yakin sekali?
Ya. Dalam perjalanan saya menjadi seorang penulis, saya pernah dikecewakan oleh
satu penerbit. Mereka memberi job kepada saya, tapi sayangnya style tulisan saya
diarahkan mereka sehingga menjadi bukan tulisan saya. Tulisan saya seperti tulisan Raditya Dika yang bertajuk "Kambing Jantan", yang kata-kata dalam buku tersebut berantakan, tapi memang genrenya komedi jadi ya (mungkin) sah-sah saja. Sementara tulisan saya bukan genre dagelan. Belum lagi
tulisan-tulisannya di-delete di sana sini, misalkan harusnya buku itu
ketebalannya 250, tapi karena tidak sesuai standar dari penerbit, akhirnya
dipangkas menjadi 170-an halaman. Kemudian ketika saya bertamasya di Gramedia, saya menemukan sebuah novel di rak dengan label "BEST SELLER". Ketika saya sibak, "ini style tulisanku." Terlalu percaya dirikah seorang Saad? Ya, harus percaya diri.
Memangnya hasilnya seperti apa setelah disunting oleh penerbit itu?
Jauh dari ekspektasi. Menyedihkan. Memalukan. Enggak nyambung ceritanya. Seperti
katak yang ketakutan, lompat-lompat tak karuan ceritanya. Makanya tidak saya publikasikan bahwa saya ada karya novel ini.
Maka dari itu, saya ingin jeda. Dan kemudian muncul dengan kabar gembira bahwa
tulisan saya yang remuk di sana sininya, telah hidup kembali, dengan style tulisan saya.
Ada berapa tulisan yang mati suri?
Terhitung ada 3 naskah yang masih belum proses sunting.
0 Comment:
Posting Komentar