Tanggal 1 bulan Januari 2021.
Hampir semua orang punya kenangan di Facebook. Mulai dari yang sedih, gembira, kecut, manis, dan kocak campur menjadi satu. Facebook rajin mengingatkan user-nya mengenai kejadian yang sudah berlalu. Salah satunya, Facebook jadi saksi di mana kita berkenalan dengan banyak orang.
Hari ini saya diingatkan Facebook “Anda memiliki kenangan bersama Muhammad ZuLkarnain”. Zulkarnain? Hampir lupa, tapi segera ingat ketika nengok photo profilnya. Zulkarnain seorang pemuda berdomisili di Sumatera Utara. Seketika itu saya sapa dia. Sudah hampir 9 tahun tak ada komunikasi dengannya. Terakhir tatap muka ketika dia masih berseragam SMP. Tak perlu menunggu terlalu lama, Zul—begitu panggilan saya kepadanya—langsung meng-inbox saya dan meminta nomor whatsApp. Ada begitu banyak kenangan saat saya merantau di Sumatera Utara, termasuk kenangan bersama Zulkarnain dan keluarganya. Zul yang dulu masih SMP, sekarang sudah menikah. Begitu cepat waktu berlalu.
 |
9 tahun silam masih SMP, sekarang sudah nikah.
|
Dari tahun 2010, saya selalu menerapkan pada diri ini untuk rajin-rajin menulis. Saya pegang kuat perkataan orang-orang bijak terdahulu yang mengatakan “menulis itu bermanfaat” atau “menulis itu menolak lupa.” Berikut ini catatan saya di tahun 2012 mengenai Sumatera Utara dan keluarga Zul yang pernah berinteraksi dengan saya:
******
1 Januari 2012,
Begitu kerap air yang tumpah dari langit, mengguyur Bumi yang seharusnya penduduknya merayakan tahun baru. Aku tahu banyak muda-mudi sangat menyayangkan jika Bumi gelap. Kecuali diriku.
Pada jam 8 ini, guyuran dari langit berganti butiran lembut. Kemudian angin mengantarkan bau genangan peceren yang tajam. Bagaimanapun aku harus bersyukur tinggal di rumah yang beralamatkan di Jermal 15, Gang Masjid ini. Jaraknya—jika naik angkot—memakan masa 20 menit ke jalan Batu Putih, tempat Pak Surya berada. Di sana kantorku berada.
Rumah ini punya keistimewaan tersendiri sebagai kiblat masjid. Aku tinggal bersama keluarga Pak Kelik, yang tiada lain istrinya seorang PRT yang bekerja di Malaysia, yang bersahabat dengan Mbak Nikmah, yakni Bu Siti.
Aku tinggal bersama keluarga Pak Kelik yang kalau tidur tak suka memakai kasur tapi lebih suka tidur di lantai beralaskan tikar, seperti kerupuk mentah dijemur. Kecuali aku, Dini dan Zul—keduanya anak Pak Kelik—yang tidur di dalam kamar beranjang kasur kapuk. Di sini suasana tenang. Tidak seperti kos-kosan milik Ibunya Pak Surya, di Jalan Batu Putih. Di Jalan Batu Putih, aku bingung banget pas baru sampai, di malam pertama aku berdiri di atas lantai 3, plonga-plongo, pas disituasi mendesak itu aku telepon Mas Iqbal:
“Mas Iqbal! Boleh enggak aku bermalam di rumah Mas Iqbal?” tanyaku penuh harap, setelah basa-basi tanya kabarnya, keluarganya.
“Akh…yang bener aja kau—eh kamu, dirumahku sesak kali, banyak nyamuk, lagian jaraknya jauh kali!” kata Mas Iqbal, ketika malamku diteror segerombolan remaja, yang enggak jelas bernyanyi riang gembira. “Perjalanan bisa satu jam dari Medan Kota, aku di Diski, Deli Serdang. Tapi kalau emang kamu enggak mau di situ aku carikan hostel…” terang Mas Iqbal.
Alhamdulillah, akhirnya bisa numpang di rumah Pak Kelik yang tenang. Untuk mengurangi rasa enggak enakku, kadang aku beli terang bulan, ayam crispy, bika ambon dan jajanan lainnya buat keluarga Pak Kelik. Ajaibnya makanan itu cepat habis disaat aku tinggal sebentar, seperti mandi, solat, atau sekadar ganti baju.
Aku ogah tahun baruan saat malam becek dan lembab. Meskipun Pak Kelik mengajakku, aku tetap menolak. “Gerimis tuh, entar sakit kepala aku!” kataku, dengan berusaha memedan-medankan bahasa, menolak ajakan Pak Kelik. Lagian, apa nyaman tahun baruan bersama Pak Kelik? kan dia bapak-bapak.
3 januari 2012, di kamar dengan ukuran 2 x2.5 ini aku bersemayam. Sedang menulis diary. Tak peduli lagi terpergok orang. Dini—adik Zul—sudah bilang ke lainnya bahwa aku sedang berusaha belajar menulis dengan huruf yang baik. Aku memang belajar menulis dengan baik, awalnya baik, lama-kelamaan amburadul lagi. Kalau buatku pribadi yang penting bisa kubaca. Konon, tipografi bisa menilai kepribadian orang dari tulisan tangan. Apakah dengan melihat tulisanku ini, pada awalnya kehidupanku di sini 'baik' dengan mendapatkan pekerjaan dengan begitu mudahnya. Entah, apa nanti 'amburadul'? Manusia tak ada yang tahu masa depan.
Jermal 15, jalan yang unik, untuk masuk ke sana melewati terowongan jalan tol yang sempit, tidak bisa dilalui oleh dua mobil sekaligus. Menurut cerita Pak Kelik, jika jam sudah tengah malam ke atas, di situ ada 'hantu kepala' gentayangan, yang sering menggoda orang yang melewati jalan tersebut.
Jika kau ingin tahu rumah Pak Kelik, bisa search di google maps “Jalan Jermal 15”. Kau telusuri saja terowongan tol. Kira-kira 10 meter dari mulut tol itu akan kau temui tanda petunjuk jalan yang sudah miring dan tak jelas bacaannya, kau tinggal belok ke kanan. Jika masih tak yakin, berhenti dulu lalu bersihkan plang penunjuk jalannya, maka akan nampak tulisan Gang Masjid. Ciri-cirinya, kau akan mencium bau khas kedebok pisang yang busuk karena hujan atau karena lembab tergenang peceren. Di tepian gang terdapat pagar rusak, di dalam pagar ada sampah dengan kresek hitam yang menumpuk-numpuk, sebagian sudah menghitam habis dibakar. Mungkin memang buat tempat pembakaran sampah. Di penjuru jalan ada siskampling bertuliskan "tamu harap lapor 24 x jam". Tapi aku tak yakin akan hal itu. Semenjak aku berada di rumah Pak Kelik, aku enggak lapor ke siapa-siapa.
Nah, tak jauh dari bangunan siskampling itu kau tanya rumahnya Pak Kelik, pasti semua orang tahu, atau jangan-jangan kau tanya kepada orang yang sedang kau cari. Rumah Pak Kelik amat damai, setiap kali menjelang solat magrib atau subuh, kau akan disuguhi qori dari suara imam masjid, kadang-kadang qori dari sebuah CD atau kaset, seperti suara Muhammad al Junaid.
Di keluarga Pak Kelik atau Bu Atik ini membuat pikiranku melenceng mengenai orang Medan sebelumnya, yang katanya terkenal sadis dan kasar. Tapi di sini, mereka membuat diriku nyaman dan damai. Nada suara mereka justru kalem dan terpuji. Bahkan bagiku seperti keluarga sendiri.
Sekarang sudah tanggal 3 januari, mulai dari 8 desember 2011 sudah genap 1 bulan di sini di meja cokelat kehitaman, dengan coretan tipe-x Zul dan Dini. Dini memainkan game Snake Xenzia di HP-ku, yaitu game ular-ularan memakan buah-buahan. Sementara itu Zul menonton permainannya, kalau Dini kalah maka giliran Zul yang main. Begitu seterusnya. Aku heran, bagiku game itu klasik. Aku saja kenyang untuk memainkannya.
“Zlurrrp….Zlurrrpp…." begitu bunyi game ketika ular memakan buah, dan "tinggggsss…” saat ular memakan jackpot.
Untuk pertama kali dalam sebulan ini celanaku baru aku cuci. Maklum, aku manusia yang enggak mau ribet dengan banyak barang bawaan. Bagiku jeans itu familiar dipakai orang, jadi dalam pikiranku, "sibuk banget ah" kalau memang ada yang peduli dengan celanaku ini. Yang penting baju atau kemeja harus diganti, sebab meski aku kurus, bau ketekku limited edition kuat seperti pestisida bisa membakar bulu hidung manusia, atau bau yang dapat menarik lalat untuk mendekat. Bu Atik pun tak mempersoalkan celanaku, barangkali dia tidak tahu, atau tak mau tahu. Tapi kurasa Bu Atik tidak tahu. Justru Bu Atik menyorot masalah kemejaku yang tak dimasukkan, katanya, “kurang rapilah kau”. Bu Atik—selaku ibu angkat—lebih setuju jika kemejaku dipanjangkan saja kain lengannya. Jika aku bersikukuh melipat, Bu Atik bertindak memanjangkannya.
Tadi pagi aku berangkat pamit kerja tapi aku nyerong pergi ke Sun Plaza di bagian toko buku. Karena pada hari itu dapat kabar dari Pak Surya bahwa container yang seharusnya hari ini datang, tapi delay, kemungkinan datang besok hari. Di Sun Plaza aku puaskan berlama-lama di sana. Aku putuskan membeli diary bergembok. Rasanya, diary bergembok ini aman. Biarpun tulisan yang kutulis memalukan, aku enggak perlu kawatir. Aku bebas menulis apa pun, kemudian, “klik” gembok deh!
Satu bulan di sini terasa cepat. Akhirnya aku berani bepergian sendiri dari Jermal 15 ke Angsara pakai angkot nomor 48 atau mobil warna biru. Di sun Plaza, gedungnya enak buat refresing. Tapi kenyamanan ini yang membuat harga di dalam gedung itu mahal juga, harga rotinya gila! Aku membeli roti dengan rasa keju berbentuk pipih, dengan ukuran lingkaran jempol dan telunjuk, minumnya secangkir teh hijau, pipih pula cangkirnya, totalnya mencapai Rp 60.000! sumpah enggak bikin kenyang. Malah bikin lapar. Harganya hampir menyamai harga satu novel!
*****
Ya, tulisan di atas ini adalah tulisan di tahun baru Masehi, tepatnya 2012.
0 Comment:
Posting Komentar