Januari 13, 2021

Jadi Penulis Harus Siap Miskin
PENULIS MISKIN BERPRESTASI FRUSTASI
Menjadi penulis harus siap miskin. 

Dibaca, sampai tuntas, biar tidak terjadi kesalahpahaman apalagi timbul perasaan pesimis. Yang saya maksud miskin adalah yang tidak melulu tentang harta, tetapi kaya hati. 

Seorang penulis, atau bidang apa pun, punya caranya sendiri untuk mencapai kesuksesannya. Tak bijak kalau sampai mengutuk diri sendiri karena saat ini entah kenapa bidang yang ditekuni seolah tak ada progresnya. Daripada seperti itu, akan lebih baik terus berusaha semaksimal mungkin. 
“Mas, menjadi penulis itu agak riskan. Kenapa demikian? Karena di negeri kita ini bekerja sebagai penulis itu jika memikirkan honor, jangan harap bisa mendapatkan besar secara langsung. Perlu kesabaran dan ketelatenan. Alih-alih serius dibidang itu, lebih baik Anda nyambi-nyambi kerjaan lain selain menjadi penulis atau banting setir ke bidang lain yang lebih menghasilkan. Sementara menulis dibuat sampingan, Mas. Itu kalau menurut saya.” Begitulah, kata Pak Ahmad Tohari, Penulis Ronggeng Dukuh Paruk, dikesempatan saya menelpon beliau. 
Memang, seperti itulah nyatanya. Tidak serta merta menulis itu menghasilkan duit. Bahkan ketika saya mencari pekerjaan yang masih ada kaitannya dengan menulis disejumlah website yang menyediakan tempat transaksi bagi freelancer. Saya menjumpai pada sebuah website untuk satu tulisan artikel yang lulus akan mendapatkan kesempatan tampil di website tersebut atau mendapatkan tempat istimewa terpublikasikan. Itu saja. Tanpa adanya fee. Mirisnya lagi, tulisan yang sudah tampil itu tak boleh di-upload lagi di platform lain, bahkan tak boleh di-upload di blog pribadi kita sendiri. Jika melanggar, kena denda. Ada lagi website lain yang disitu menerangkan perjudul tulisan (yang mempunyai 1500-3500 kata) dihargai tak kurang dari 20 ribu. Tentu saja ini memprihatinkan. 

Seakan-akan penulis tidak dimanusiakan. Padahal menulis itu tidak mudah karena butuh proses panjang untuk menyelesaikan satu judul tulisan. Belum lagi membutuhkan riset. Ya, walau pun riset tersebut hanya riset kecil. Agar konten tulisannya bisa tegas dari segi sumber dan bisa dipertanggungjawabkan. 

Akan tetapi, hal itu akan lain bagi mereka yang secara ekonomi sudah mapan dan memang gemar menulis, tentu saja (mungkin) tidak menantikan upah dari hasil tulisannya itu. Yang penting namanya terpampang dan semakin dikenal. 

Jadi teringat ketika merantau di negeri sebelah, saya temui orang-orang yang seharusnya mereka tak perlu merantau apalagi kerja payah, sebab gelar mereka sudah sarjana. Salah satu orang itu berkata, “malu dengan tetangga, sarjana jadi ojek. Lebih baik lari ke sini, tak ada orang kampung yang tahu saya kerja kotor dan keras.” Begitu katanya, disela-sela mengangkat kotak cargo. Keringatnya bercucuran. Padahal kalau dari segi keilmuan, orang tersebut sangat mumpuni, bisa dilihat ketika dia ngobrol tentang ekonomi, sangat paham detailnya. Bahkan memberi beberapa ilmu kepenulisan yang dia kuasainya kepada saya. 

Orang-orang merantau ke luar negeri adalah fenomena yang berkembang sampai sekarang. Mereka yang merantau itu bukan sekedar dari pendidikan rendah, tapi orang-orang pintar juga pergi ke luar negeri akibat keadaan dalam negeri yang tak kunjung mengalami perbaikan. Di negeri lain, tenaga atau ilmu mereka dihargai. 

Jika mengenai orang-orang pintar yang merantau ke luar negeri, saya jadi teringat pula dengan kisah B. J. Habibie semasa muda merantau di Jerman. Singkat kata, kemudian PT. IPTN (punya Pak Habibie) yang bisa memproduksi pesawat terbang sudah ditutup. Orang-orang Pak Habibie, yakni tenaga ahli mantan karyawan PT. IPTN merantau ke Malaysia, dan beberapa negara lainnya. Seperti yang pernah saya dengar, ada beberapa diantaranya menjadi dosen di Malaysia. 

Kembali ke aktivitas menulis untuk menjadi penulis yang menghasilkan uang banyak. Saya malah sependapat dengan konsep pemikiran dari sahabat literasi saya, Rizem Aizid. Katanya, perkara rezeki itu sudah ada yang mengatur. Meskipun kita sudah ngotot mencari sampai jungkir balik sekalipun, tetap, namanya rezeki sudah ada “tangan” yang mengendalikannya. Sementara Rizem Aizid sendiri di jalur kepenulisan bisa dibilang langgeng dan sukses. Dari jalur kepenulisan, dia pernah mendapatkan fee yang sangat besar, sehingga hasilnya dibelikan rumah dan mobil. Ketika wabah seperti saat ini, orderan menulis untuknya masih tetap ada. Tapi tetap, pada waktu senggang, ada sampingan selain menulis. Jadi, untuk keperluan hidup sehari-hari masih bisa ditalangi. 

Begitu juga teman literasi yang lainnya, seorang penulis yang bekerja di sebuah penerbit mayor. Ketika wabah melanda, kebijakan perusahaannya menerapkan penulis tersebut diberhentikan sementara sebagai penulis, mengubahnya sebagai sales menjual buku-buku yang sudah berlonggok-longgok di gudang. Dia juga ada sampingan, yakni jualan online. 

Ada juga penulis Jawa Tengah, teman literasi saya, yang akhirnya mencoba belajar menjadi youtuber. Tak dinyana, konten videonya bagus-bagus. Mungkin dia akan menjadi penulis sekaligus youtuber. Dan lagi-lagi, teman literasi ini punya pegangan yang lainnya untuk bisa melanjutkan hidup. “Bisnis kecil-kecilan, ada deh,” katanya ketika saya bertanya aktivitas sampingannya. “Untuk menulisnya, masih lanjut, kok,” jelasnya. 

Jadi, sebenarnya, menjadi penulis itu bukan perkara kaya atau tidak. Tapi upayakan tindakan itu untuk tujuan kebaikan, harus ikhlas, dan mengharaplah kepada “gaji” dari Yang Maha Pemberi. Sebab pemberian-Nya tak terkira harganya. Jangankan soal kantong atau dompet yang tebal, dunia dan seisinya kalah telak terhadap hadiah-Nya. Tak terbatas. 

Terus berusaha semaksimal mungkin. 
Tetaplah menulis, dan tetaplah bertebaran mencari rezeki di hamparan Bumi ini. Sebagaimana burung yang pergi pada pagi hari, ketika pulang di peraduan, mereka sudah kenyang dan bisa istirahat tenang. Mereka rupanya taat sungguh pada perintah-Nya. 
Mungkin ketika Anda melangkah di hamparan Bumi ini, bertanya-tanya "bagaimana pada masa depan negeriku ini, kalau orang-orang kreatif dan pintar yang semestinya dihargai ilmunya untuk membangun bangsanya, tetapi tidak dimanfaatkan dan justru keahlian mereka digunakan untuk membangun negara orang lain?"

Mungkin pertanyaan itu disimpan dulu. Tetap jangan berhenti melakukan yang terbaik dan terus berdoa. 

Gemar menulis dan membaca dua aktivitas ini yang menjadi kendaraan saya menjadi penulis, untuk menambah kenalan di Tanah Air maupun luar negeri, yang punya passion sama dibidang literasi.

4 Comment:

  1. Haduh.... judulnya bikin salah paham kak. Tp juntrungnya memotivasi....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf kalau buat salah paham. Tapi untungnya kakak baca sampai habis ya...... :)

      Hapus
  2. Penulis Harry Poter, Laskar Pelangi, mereka kaya hehehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, benar. Mereka berdua menjadi kaya mendadak dari karya tulis.

      Hapus

Contact

Kirim saya Email

Hubungi

ContactInfo

Secara etimologis, kata literasi (literacy)berasal dari bahasa Latin “literatus” yang artinya adalah orang yang belajar. Literasi erat hubungannya dengan proses membaca dan menulis. Namun, seiring berjalannya zaman, literasi mengalami perkembangan definisi yang baru, diantaranyaliterasi sains,literasi digital,literasi numerasi, literasi finansial, literasi budaya dan kewargaan. Khusus di website ini, membahas tentang literasi baca dan tulis atau manfaat berjejak hidup lewat kata.

Alamat:

Jln. Sunan Bonang No. 42A, Jember.

Phone:

+62 812 3254 8422

Email:

admin@mediapamungkas.com