Januari 20, 2021

Pengalaman Menyebarkan Iklan Offline Literasi
ORANG KAYA YANG TIDAK MINAT LITERASI
Saya pernah menyebarkan brosur literasi berdua dengan keponakan saya. Brosur itu berisi tentang bimbingan menulis gratis. Upaya promosi offline ini saya lakukan karena beranggapan tidak semua calon customer yakin dengan apa yang mereka lihat di dunia maya atau online. Barangkali mereka ingin melihat wujud yang nyata dari jasa yang saya miliki, dan semakin yakin dengan wujud saya. Apalagi nama saya masih belum dikenal sebagai pegiat literasi atau—kononnya—seorang penulis. 

Usaha jemput bola ini, sebenarnya terinspirasi oleh penjual susu kedelai. Penjual tersebut bilang, kebanyakan orang zaman sekarang ini 'bermain' di online saja, tapi mereka minim terjun langsung tatap muka memperkenalkan jasa atau produk secara langsung. Penjual, seorang lelaki kisaran umur 50-an tahun itu, dia berkisah pada hari pertama jualan produknya hanya terjual 3 bungkus, atau Rp 21.000. Tapi seiring berjalannya waktu semakin berkembang ada pelanggan tetap. “10 orang bagi saya sih sudah cukup,” katanya. “Tinggal kalikan saja Rp 7.000 dikali 10 orang, dapat Rp 70.000. Kadang enggak sampai dzuhur ider-idernya. Jadi sisa waktu bisa buat keluarga dan ibadah”. Kata-kata penjual susu kedelai menyentuh hati saya. 

Usaha tersebut dilakukan murni 100 persen offline, tanpa online. “Padahal ini katanya zaman digital, to? Tapi nyatanya di lapangan masih banyak saya temui orang-orang, yang sebenarnya mereka sedang mencari-cari susu kedelai, dan lebih yakin ketika bertatap muka dibanding online”. 

Kembali mengenai brosur yang saya sebarkan itu. Terinspirasi oleh penjual susu kedelai, brosur tersebut saya sebarkan offline di Perumahan Gunung Batu dan Perumahan Argopuro. Orang Jember pasti tahu bagaimana rupa dari kedua perumahan ini. Selain kedua perumahan itu, ada beberapa tempat brosur ini hinggap, yang jelas hinggapannya di rumah-rumah yang menurut saya mentereng atau mewah. Itulah target-target saya. 

Kenapa target saya orang-orang kaya? 

Begini, saya pribadi sebagai warga kelas menengah ke bawah ketika ada buku bagus dan ada hasrat membeli tapi karena harga mahal, membuat saya berpikir dua kali untuk membelinya. Akibatnya saya sering mengurungkan niat untuk membeli atau bahkan menunda hingga sampai cukup untuk membelinya. Inilah dilema saya di negeri ini, dan mungkin juga dilema bagi lainnya jika kebetulan suka membaca atau baru ingin memulai kebiasaan membaca. 

Bercermin dari ini, saya dapat melihat kesalahan dan kekhilafan yang saya lakukan jika memaksakan keadaan. Sebagai orang berekonomi menengah ke bawah, tentunya pembaca tahu maksud target saya menyebarkan brosur ke rumah-rumah mewah. Pikiran saya sederhana, “Pasti mereka mampu untuk membeli barang yang bermanfaat!” 

perumahan elit di Jember
Salah satu perumahaan yang terbilang elit di Jember selain Argopuro (dok.pribadi)

Setelah saya mahfum dengan harga buku (yang sudah jadi) dengan harga per satu bukunya yang relatif mahal, justru biaya pembuatan buku secara indie (terbit pribadi) lebih murah dari sudut harga per-buku yang sudah cetak (tanpa menengok proses editing, cover, layout, isbn, proses cetak, kemudian pemasaran). Ditambah lagi, setelah saya kenal dengan Mas Rizem Aizid, seorang penulis sekaligus owner Penerbit Nur Media, saya jadi punya wawasan mengenai biaya cetak mulai dari nol dalam pembuatan buku ini. 

Nah, berbekal dari pengetahuan percetakan buku ini, saya mempromosikan sebagai penulis yang bersedia memberi jalan kepada siapa saja yang ingin membukukan kisah hidupnya, dengan bimbingan menulis gratis, proses cetak yang terbilang murah dan klien bebas menentukan harga per-bukunya. Klien bahkan dapat hasil yang lebih banyak, dibanding modal awal yang dikeluarkan. 

Usaha saya dalam menyebarkan brosur ini saya sertakan wajah yang sumringah kepada calon-calon klien saya itu. Sebagai contoh kisahnya ada seorang yang tempat kediamannya mewah dan estetis sekali. Waktu itu saya sendirian. Di sebuah teras rumah saya mendapati seseorang sedang bersantai, menyeruput kopi sembari menatap layar smartphone-nya.  Lampu-lampu penerangan rumahnya menciptakan suasana hangat. Ah, pokoknya rumahnya nyaman sekali. Kemudian saya datang mengucapkan salam. Setelah dijawab, kemudian dipersilakan mendekat oleh laki-laki kisaran umur 30-an tahun itu. Layaknya PSG atau salesman, saya memperkenalkan diri secara singkat profil saya dan jasa saya secara runut. Pertemuan itu santai. Tanya kabar, tanya usaha, dan tanya segala hal yang remeh temeh, bahkan follower medsos pun tak ketinggalan. Saya kaget, follower-nya 10 ribu lebih. Barangkali paras wajahnya yang rupawan yang bisa mendongkrak follower. Kemudian saya berkata kepada orang itu, “kemungkinan besar mudah menjual buku dengan follower sebanyak itu. Ini kesempatan Mas, apalagi seperti pandemi yang melanda sekarang ini, jika Mas punya buku, di potret kemudian di-upload di medsos dengan caption: 'ayo di rumah saja bareng buku saya!', sepertinya itu menarik, Mas".  Setelah saya rasa cukup perkenalan pertama (dan terakhir) itu, orang tersebut berkata, “Maaf, untuk sekarang saya tidak bisa menggunakan jasa kepenulisannya, Mas. Karena usaha saya semenjak corona ini menurun drastis.” 

menyebarkan brosur literasi
brosur ini yang saya sebar. Pojok kanan atas jelas "gratis".

Baik, kalau sudah berkata seperti itu, tidak perlu memaksakan diri lagi, apalagi pertemuan hangat tersebut sekaligus perpisahan dingin. Saya tak ingin lebih ngenes lagi. Nyatanya, banyak sekali perpisahan dingin yang saya temui dengan calon-calon klien saya. Ada yang singkat, sambil tersenyum skeptis, ada yang garuk-garuk kepala kemudian manggut-manggut. Dan yang paling singkat, “ok, Mas. Nanti saya lihat. Saya sedang sibuk.” Dan yang paling singkat dari yang singkat itu diberi anggukan saja, tanpa beranjak dari tempat duduk di teras, walhasil brosur saya selipkan di pagar saja. 

Saya juga memperkenalkan profil saya di sekolah-sekolah kota. Waktu itu sekolah masih tatap muka (menjelang PSBB). Saya jelaskan maksud kedatangan saya. Kali ini target customer saya adalah guru-guru. Singkat saja, sampai sekarang, setelah banyaknya brosur yang tersebar, entah tak terhitung lagi jumlah brosur yang tersebar, dimulai sebelum ada corona, hingga corona bertamu di negeri ini pun brosur tersebut tetap saya sebarkan. Tapi tak ada kabar satu pun dari brosur-brosur tersebut. Di brosur padahal sudah jelas tertulis nomor whatsApp, email, barcode (yang bila discan langsung menjurus ke website Perpusnas sehingga bisa dilihat karya-karya saya dari situ), dan yang terpenting jasa bimbingan menulis itu gratis. 

Ah, syukurlah, usaha di atas tak sia-sia, bisa jadi pengalaman hidup bahwa antara mempromosikan susu kedelai dengan dunia keaksaraan itu beda. Beda pake banget! 

brosur literasi di Jember
Brosur ajakan untuk guru-guru.

Susu kedelai dicari mungkin karena kesegarannya, 

Sementara dunia keaksaraan masih asing.
Padahal kalau kita tahu bahwa buku yang bermanfaat membuat kita merasakan super segar, bahkan kesegarannya berterus-terusan. Tak sama ketika kita meminum susu kedelai segar. Kok bisa? Jika kita menengok penggalan hadis HR. Ibnu Majah 249 yang mengatakan: 

"Diantara pahala amal mukmin yang akan tetap mengalir setelah kematiannya adalah ilmu yang dia sebarkan..."
Bukankah hadis di atas ini sudah jelas bahwa betapa membuat buku yang bermanfaat yang berisi pengetahuan atau ilmu akan menyegarkan diri kita ketika di akhirat kelak? Mengalir terus kebaikan kita meski kita sudah tak ada di muka Bumi ini. Hadis di atas itu harusnya menjadi angin segar untuk kita berlomba-lomba membuat amal jariyah. Salah satunya membuat buku. 

Tapi bagaimana kalau kenyataan banyak orang enggan atau kurang tertarik membuat buku?
 
Harus ada tokoh masyarakat yang sudah dikenal luas untuk meningkatkan peran serta dan sebagai penggerak, role model, dan motivator bagi masyarakat dalam meningkatkan kesadaran berliterasi ini. 
Kenapa harus tokoh yang terkenal? 

Bicara soal tren, para tokoh misal seperti selebriti, yang biasanya menjadi sosok yang paling berpengaruh atau ditiru oleh penggemarnya. Seperti model fashion yang dikenakan. Para selebriti mencetak tren fashion baru lewat media sosial. Foto-foto airport fashion atau hasil jepretan paparazzi saat seorang artis melenggang di suatu tempat sering jadi viral. Gerak-gerik selebriti terkenal pasti tak luput dari jepretan camera saat mereka di tempat umum. Life style pun sama, akan dibuntuti. Jadi, jika selebriti atau tokoh terkenal memegang buku di sebuah kafe, misalnya, bukankah hal itu bisa berpengaruh terhadap follower-nya atau penggemarnya?

Ini menurut saya, bagaimana menurut Anda?

Gemar menulis dan membaca dua aktivitas ini yang menjadi kendaraan saya menjadi penulis, untuk menambah kenalan di Tanah Air maupun luar negeri, yang punya passion sama dibidang literasi.

0 Comment:

Posting Komentar

Contact

Kirim saya Email

Hubungi

ContactInfo

Secara etimologis, kata literasi (literacy)berasal dari bahasa Latin “literatus” yang artinya adalah orang yang belajar. Literasi erat hubungannya dengan proses membaca dan menulis. Namun, seiring berjalannya zaman, literasi mengalami perkembangan definisi yang baru, diantaranyaliterasi sains,literasi digital,literasi numerasi, literasi finansial, literasi budaya dan kewargaan. Khusus di website ini, membahas tentang literasi baca dan tulis atau manfaat berjejak hidup lewat kata.

Alamat:

Jln. Sunan Bonang No. 42A, Jember.

Phone:

+62 812 3254 8422