Januari 04, 2021

Gedung Mangkrak di Jember
jalan lubang
Silam sempat heboh, pemerintah Jember mengeluarkan dana anggaran sebesar 4,4 milyar hanya untuk membangun hiasan jembatan Semanggi. Sekarang keindahannya bisa dinikmati warga ketika malam tiba, dengan lampu warna-warni serupa lampu led mitsuyama yang biasa saya nikmati di kamar tidur. Kehebohan itu disebabkan nilai anggaran itu terlalu besar untuk ukuran hiasan “tulang belulang” tersebut. Maaf, berkata kasar tidak ada di dalam kamus masyarakat yang sejahtera dengan fasilitas umum yang memadai.

Besaran anggaran itu layaknya membuat bangunan-bangunan sekolah menjerit protes. "Mereka" menangis, meraung-raung, meronta-ronta. “Mereka” sudah bosan dengan kerapuhan bangunannya; kuda-kuda yang dimakan rayap dan nonor, kelembaban yang membuat dinding-dinding serupa kostum “Si Buta dari Gua Hantu”, tembok yang retak, papan tulis yang reot, eternit yang serupa syuriken mematikan bila runtuh. 

Yang lebih membosankan adalah jalan-jalan berlubang yang menjadi masalah tak ketemu ujungnya. “Jeglongan sewu” itu masih bisa dinikmati warga, kenikmatannya bisa membuat warga merebah di aspal dengan rasa sakit jika tak berhati-hati, atau minimal membuat kendaraan kita, seperti ban menjadi bocor, pelek menjadi cacat, baut-baut rontok. 

jalan-jalan rusak
Cukup di satu kelurahan saja sudah menemui jalan berlubang. Lokasi Jember Kidul.

jalan menggengenang dan rusak
Kursi sebagai tanda kalau ada lubang di jalan.

jalan jember rusak
Jalan ini padat ketika jam sibuk. Terlihat tong sebagai tanda.

Ketika mendengar kabar hiasan Semanggi rampung, timbul keinginan berselfie, tapi ketika perjalan ke sana, masih di dekat jembatan itu ada aspal yang berlubang. Rasanya tak etis berselfie dengan hiasan itu, sementara lubang kesengsaraan masih menganga lebar. Toh, hiasan jembatan itu rupanya "begitu" saja. Senin, 4 Januari 2021, saya sampai sekarang belum pernah berselfie dengan hiasan jembatan tersebut, meski berkali-kali lewat siang dan malam. Malu dengan lubang. 

Bundaran Semanggi, salah satu lanskap ikon di Kabupaten Jember ini mendapat komentar yang semuanya miring dari netizen dengan kehadiran hiasannya, diantaranya dari warga bernama Hadi Eko Yuchendi, di platform Facebook Komunitas Orang Jember, katanya: 
“Kita tidak butuh itu, kita butuh keselamatan saat berada di atas jembatan, bagaimana sisi kiri-kanan jembatan itu ada pelindung dan tidak terkesan membahayakan, utamanya bagi pejalan kaki saat melewatinya, contoh jembatan di jl Mastrip dibawahnya tampak aliran sungai bedadung dan pembatas jembatan hanya lebih kurang tinggi dibawah dada orang dewasa, kedalaman lebih 20 meter, juga Gladak Kembar perlu sisi kiri-kanan ada pengaman permanen.” 
Diantara komentar miring itu, saya suka dengan komentar yang padat dan kena, yakni dari akun Kupritz Culun, katanya:
“Sedotan 😂😂😂 ”
Kenapa saya suka komentar padat di atas ini? 

Dahulu kala saya pernah mengumpulkan sedotan (straw) warna-warni, saya gabung menjadi satu dengan menggabungkan ujung-ujungnya. Kemudian, dengan sedotan panjang dan warna-warni itu saya nyedot minuman dari sebuah gelas. Asyik sekali menikmati perjalanan air dari gelas ke tenggorokan. Tapi itu perangai anak kecil, imajinasi anak kecil, tak patut diadobsi untuk membangun apa pun yang terkait dengan khalayak umum. 

Selain sekolah rapuh dan “jeglongan sewu”, yang harus menjadi perhatian pemerintah setempat, untuk memanfaatkan dana pembangunan dengan baik adalah salah satunya merevitalisasi aset gedung pemerintah. Pemerintah kudunya membantu untuk kemudahan aksesnya. Sebab ada beberapa gedung milik pemerintah tapi mangkrak. 

Pembangunan insfrastruktur yang kurang greget ini menjadi perhatian dari Kung Iman Suligi (Founder TBM Kampoeng Batja).  Sebagai warga Jember, beliau ingin bercita-cita Jember menjadi kota budaya dengan mempunyai gedung khusus kebudayaan atau pentas seni. Berikut penuturan beliau yang di-share di group whatsApp
Kota tanpa pusat kebudayaan. Bahkan tak pernah berfikir tentang itu. Sementara untuk membangun bagunan ecek-ecek habis milyaran, sementara itu benda purbakala teronggok di gudang, panggung kesenian tak pernah ada. Masyarakat menggelar pentas di lapangan dengan tenda seadanya. Ini sungguh memprihantinkan. Sejak puluhan tahun seniman patungan dan sibuk cari sponsor pameran untuk menyewa tempat, sementara ada gedung-gedung merana yang akhirnya hanya menjadi gudang.

Ini semua hanyalah—seperti yang sering saya katakan—karena kemiskinan imajinasi, defisit apresiasi. Kalau Einstein bilang "Imagination is more important than knowledge", maka apa yang kita katakan dengan miskin imajinasi?

Meremehkan hal ini berarti kepedulian kita akan generasi masa depan yang kreatif, inovatif, mampu berkolaborasi dan solutif berhenti di batas “lip service”. Semoga tahun 2021 membuka jalan ke arah terbukanya wawasan baru akan kesadaran pentingnya menempatkan kebudayaan dengan memenuhi kebutuhan prasarana untuk pendidikan, berupa museum, galeri, atau pentas.

Jember bikin jembatan dengan biaya 4 M, padahal bisa dibuat gedung kesenian, atau lebih hemat lagi merehab gedung yang mangkrak, seperti gedung bagus tapi nganggur di Kreyongan itu. 

Semoga kata “wayahe” bukan sekedar slogan belaka.

Gemar menulis dan membaca dua aktivitas ini yang menjadi kendaraan saya menjadi penulis, untuk menambah kenalan di Tanah Air maupun luar negeri, yang punya passion sama dibidang literasi.

0 Comment:

Posting Komentar

Contact

Kirim saya Email

Hubungi

ContactInfo

Secara etimologis, kata literasi (literacy)berasal dari bahasa Latin “literatus” yang artinya adalah orang yang belajar. Literasi erat hubungannya dengan proses membaca dan menulis. Namun, seiring berjalannya zaman, literasi mengalami perkembangan definisi yang baru, diantaranyaliterasi sains,literasi digital,literasi numerasi, literasi finansial, literasi budaya dan kewargaan. Khusus di website ini, membahas tentang literasi baca dan tulis atau manfaat berjejak hidup lewat kata.

Alamat:

Jln. Sunan Bonang No. 42A, Jember.

Phone:

+62 812 3254 8422

Email:

admin@mediapamungkas.com