Pagi ini saya menyalin catatan ketika Bumi masih rindang. Tepatnya Ahad, tanggal 16 Juli 1989. Ditulis oleh Mas kandung yang bernama Mas Zidny Hasan, sekarang dia berdomisili di Batu Aji, Batam.
Dulu banyak kisah horor yang membuat saya bergidik. Kejadian-kejadian mistis yang diceritakan oleh alm. ibu, dikuatkan lagi oleh penggalan cerita Mas sulung, Mas Zidny Hasan. Di tahun itu pula saya lahir sampai umur sekitar 4 tahunan, sebelum akhirnya pindah ke Kediri. Jadi samar-samar mengingat kejadian-kejadian mistis tersebut. Penggalan tulisan yang ditulis oleh Mas Zidny ini bukan genre fiksi, tapi secara logika genrenya ke arah fiksi. Karena pelik. Boleh percaya, dan silakan tak percaya.
Entah kenapa di zaman baheula begitu banyak makhluk yang tak kasat mata menampakkan diri, bersuara, dan sering mengganggu. Tapi sepertinya itu lebih baik, daripada sekarang makhluk itu berada di singgasana kursi-kursi pemerintah. Ulah mereka malah lebih berbahaya, membuat masyarakat (banyak orang) sengsara. Sundel Bolong pun sekarang berubah wujudnya, bolong-bolongnya bisa ditemui di jalan-jalan yang sering dilintasi kendaraan. Saat musim hujan begini sering juga menghantui saya karena bolongnya tergenang air. Tepatnya suprise. Sudah saya bilang, Sundel Bolong itu ada di kursi-kursi panas itu. Lebih sulit memusnahkan mereka, karena mereka lebih kebal sama janji-janji di bawah kitab suci. Mereka tidak bisa terbakar dengannya.
Mungkin saja dulu kami terlalu naif karena tak begitu paham manfaat dahsyat doa-doa harian, seperti Al-Ma'tsurat atau dzikir pagi dan sore yang bisa memanggang setan. Sepertinya begitu.
Berikut ini kisah yang ditulis oleh Mas Zidny Hasan:
"Hoahm" Aku menggeliat penuh. Mengucek mata. Kulihat sekeliling. Kira-kira ruangan kamar ini berukuran 5 X 5 meter, ketinggian langit-langit 4 meteran, lantai tegel corak putih. Yang luar biasa itu empat daun jendela kayu sangat besar. Angin begitu bebas keluar masuk dari lubang ventilasi yang kedudukannya miring. Wajar saja tadi malam aku kedinginan padahal selimut yang kupakai tidur tadi malam cukup tebal.
Ya, kami baru pindahan rumah kemarin sore. Dengan mengendarai truk berukuran sedang. Kami sekeluarga pindahan membawa sisa barang dari desa Klompangan ke daerah Gebang, di sebuah pinggiran kota. Jumat lalu kami sudah memindahkan barang-barang yang besar, seperti lemari, ranjang dan perlengkapan rumah lainnya. Aku hanya bisa membantu mengangkat barang kecil-kecil, maklumlah aku baru lulus SD, badanku masih kecil, mana kuat angkat yang berat-berat. Bapak dibantu beberapa pria dewasa tetangga kami dari desa yaitu Jetem dan Sim.
Pertama, melihat rumah ini seminggu lalu bersama Bapak, Ibu dan adik-adikku. Aku begitu senang memandang rumah besar khas rumah Belanda ini. Kelebihannya, atapnya memakai genteng beton. Dari luar nampak anggun, dan berbeda tidak seperti rumah lain yang menggunakan genteng tanah biasa. Dua pilar tiang besar di depan seakan menyambut ramah para tamu. Bangunannya berbentuk L. Bangunan utama terbagi dua, sisi kiri ada ruang tamu, ruang keluarga, ada tiga kamar besar-besar di sisi kanan. Kemudian bangunan berbelok ke kiri, ada ruang makan yang besar, kemudian dapur yang besar. Semua terlihat kuno desainnya. Lalu ada kamar mandi, di ujung sekali ada ruang khusus WC.
Aku senang sekali karena akhirnya kami bisa pindah ke kota, karena kawan-kawanku suka cerita kalau di kota itu enak, semua serba modern dan ramai, pasti banyak kawan.
Ketika senggang aku berkeliling sekitar rumah. Sehingga terlihat jelas bahwa tempat tinggal baru ini berjarak dari perkampungan sekitar. Di depan sebelah rumah ini ada jembatan kecil yang memisahkan antara jalan aspal sepanjang sungai, baru kemudian ada rumah-rumah lain di seberang jalan aspal. Rumah baru kami ini seakan sendiri, sebab disebelah kiri bangunan rumah kami didapati tumpukan tegel-tegel dan gorong-gorong dengan jumlah yang banyak. Rupanya, tidak jauh dari rumah ada pabrik pembuatannya. Pabrik ini memanjang bebentuk L hingga di belakang rumah kami. Jadi, rumah kami seakan hanya berdua dengan rumah yang sama besarnya, yakni rumah yang dibuat pabrik tegel dan gorong-gorong.
Sementara, depan rumah persis atau seberang jalan pohon-pohon berhimpit-himpitan semacam hutan yang lumayan rimbun dan gelap, pun ketika pada siang hari. Melihat lingkungan seperti ini aku senang, ternyata di kota masih ada lingkungan yang tenang dan nyaman. Cocok sekali untuk konsentrasi belajar. Salah satu motivasi keluargaku pindah rumah ini karena aku diterima masuk di SMP favorit yang bertempat di daerah kota.
“Rumah kuno sebesar ini, apa sama dengan rumah di desa dulu? tidak sebesar ini, sih. Tapi sama-sama kunonya, dan tidak sendirian,” kataku dalam benak. Pertanyaan ini sangat penting bagiku, mungkin juga penting bagi adik-adikku. Sebab selain aku diterima di sekolah SMP favorit, pindah rumah ini dikarenakan kami sering melihat dan mendengar kejadian mistis yang menakutkan di rumah tinggal sebelum ini. Yang jelas, kepindahan ini membuat aku dan adik-adikku bebas dari rasa takut. Malangnya dulu nasib kami tak didukung karena bapak dan ibu tidak pernah percaya dengan cerita yang dibawakan oleh anak-anak kecil mereka.
"Tole!" panggil ibu. Aku kaget. Pecah lamunanku. Ibu tahu-tahu sudah masuk ke kamar. Aku sepertinya sudah lama melamun. Aku berada di atas ranjang di ruang kamar depan yang memang khusus untuk aku seorang, sementara dua kamar di belakang saling terhubung pintu untuk Bapak, Ibu dan lima adik-adikku. Di depan dapur ada taman bunga dan halaman yang kurang terawat, mungkin karena lama tidak dihuni.
"Kecil-kecil bangun tidur malah melamun! Ayo sholat subuh sana! kamu kesiangan!" seru ibu.
"Jam berapa memangnya, Bu?"
"Jam setengah 6, ayo cepat sholat subuh, sudah itu bantu ibu bersih-bersih rumah baru kita ini, yo Le!"
"Ya, Bu…"
Ibu berjalan keluar dari kamar. Setelah terdengar engsel pintu depan dibuka, tak lama kemudian ibu sudah menyapu halaman. Suara sapu lidinya melengkapi aktivitas pagi ini.
Setelah merapikan tempat tidur, aku membuka empat jendela raksasa. Jendela ini besarnya sama dengan pintu. Bergidik rasanya saat membukanya. Tapi, saat terbuka seger rek udaranya!
Aku menarik langkah ke kamar mandi belakang seakan mengarungi ruangan yang panjang sekali, terasa jauh. Atau belum terbiasa dengan rumah sebesar ini, mungkin. Aku melintas di dua kamar tidur di belakang. Telinga tergelitik saat dengkuran adik-adik terdengar. Pindah rumah ini memang menguras tenaga kecil mereka. Kemudian aku belok kiri, membuka pintu kayu, itu ruangan dapur, kemudian berhenti tidak jauh dari kamar mandi, karena kudengar ada gemericik air di kamar mandi.Mungkin adikku. Tapi sebentar saja gemericiknya.
"Siapa di kamar mandi?" Semenit, dua menit, tiga menit. Bergeming. "Siapa sih di kamar mandi?" tanyaku sekali lagi. Sama seperti sebelumnya, dijawab oleh keheningan kamar mandi. Berlahan kuputar knop pintu lalu mendorongnya, tidak terkunci. Mataku beredar kemana-mana, tak ada tanda-tanda seseorang masuk di kamar mandi. Air bak juga tenang. Aku seketika diselimuti oleh tanda tanya. Bahkan aku keheranan, oleh lantai kamar mandi yang kering. Sudah jelas-jelas tadi suara air yang tumpah.
“Ah, mungkin tadi aku salah dengar.”Aku menenangkan diri.
Cepat-cepat aku buang air kecil dan berwudhu. Berupaya mengusir segala pikiran negatif yang tadi terjadi di kamar mandi ini. Segera aku enyah dari kamar mandi, karena pelan-pelan pikiran negatif itu bangkit. Banyak fantasi horor yang tiba-tiba memenuhi pikiranku.
Sebelum kembali ke kamar, aku menyempatkan diri mengintip adik-adikku barang sebentar. Mereka tenang dan nyaman di ranjang besar. Empat adik tidur dalam posisi acak adul, bantal ke mana-mana, selimut dan guling morat-marit, tak terpakai fungsinya. Aku tahan tawa melihat perangai tidur mereka, khawatir mengganggu. Aku juga penasaran dengan kamar tengah. Ku intip, ada dua ranjang berukuran sedang dan di salah satunya ada adik bungsuku tidur sendirian. Bapak masih bersimpuh di atas sajadah sedang bermunajat diantara dua ranjang. Pelan-pelan aku melanjutkan langkah menuju ke kamarku.
Sekilas kulihat bayangan ibu melangkah melewati pintu ini menuju ke belakang. Waduh, aku kelamaan mau sholatnya, sampai-sampai ibu sudah selesai menyapu halaman depan. Parah sekali!
Apalagi aku sebagai anak lelaki tertua, aku punya tanggung jawab paling besar untuk membantu orang tua. Seketika aku merasa bersalah. Buru-buru melangkah ke kamarku yang pintunya kubiarkan terbuka tadi. Kuambil sarung, kuhamparkan sajadah, siap untuk sholat. Tapi... sebentar. Masih ada suara menyapu di luar. Aku bergeming. Siapa gerangan yang menyapu di luar? Takbir sholat kutunda demi rasa penasaran yang tiba-tiba besar ini. Aku berjingkat-jingkat menuju jendela raksasaku. Kulongok dari sana. Yang menyapu itu ibu. Ya, itu ibu!
Aku menelan ludah. Jantungku berdegup kencang, kudengar degupnya sampai di telinga. Lututku lemas tak kuasa oleh gemetaran. Siapa itu yang menyapu itu, apakah sosok itu memang ibuku? Lalu, kalau memang benar itu ibu, siapa tadi yang melintas di kamar tengah?
Aku mengatur nafas yang tak beraturan ini. Aku memberanikan diri dan berinisiatif melawan ketakutanku dengan membaca beberapa ayat al-Quran yang pernah ibu dan bapak ajarkan. Kubaca pelan-pelan sambil mengambil nafas.
"Bb…Bu…” Kupanggil ibuku yang sedang menyapu itu, untuk memastikan. Kupanggil dia untuk kedua kalinya. Tidak ada respon darinya, terus saja menyapu. Kemudian pertanyaan pun hinggap, apakah dia bukan ibu, tapi kenapa mirip sekali, kalau dia bukan ibuku lalu kenapa pula menyapu di halaman kami? Mungkinkah tidak dengar karena tertutupi suara sapu? Atau suaraku yang terlalu pelan karena takut?
Pundi-pundi keberanian kukumpulkan lagi. Kutarik nafas dalam-dalam, kuhembuskan pelan sambil membaca ayat-ayat suci pendek.
"Ibu!" akhirnya, keluar juga suaraku.
Seketika sosok yang menyapu itu berhenti. Jantungku makin kencang seperti getaran dinamo mesin jahit Lik Tar—Pak Lik, adik ayah—yang kencang itu. Sosok yang masih kuragukan kalau itu ibu mengangkat wajah yang ayu itu, kemudian menatapku.
"Sudah selesai sholatnya, Le?"
Alhamdulillah. Benar itu ibuku. Lega rasanya. "Belum Bu,sebentar lagi, ya!" seruku.
Aku segera menghamparkan sajadah. Bulu kudukku mulai merinding lagi. Jadi siapa tadi yang lewat depan pintu kamar tengah,yang kukira ibu? Ya Allah, kukuatkan hatiku untuk fokus sholat. Rasa takut mulai menjalari lagi tubuhku. Kulawan dengan fokus dan berusaha untuk fokus karena beberapa kali khusyuk sholat terganggu.
Selesai sholat aku ambil pena, menandai kalender di dekat lemari pakaianku ,Minggu 16 Juli 1989. Ini kebiasaanku dari kelas tiga SD, menandai tanggalan. Aku segera bergegas mengambil sapu lantai rumah. Rupanya ibu sudah selesai menyapu halaman.
"Sapu semuanya ya Le,sampai dalam rumah. Ibu akan bangunkan adik-adikmu biar mereka sholat. Nanti kamu bantu-bantu di dapur, ya?"
B e r s a m b u n g . . .
Cerbung ya, Kak?
BalasHapusDitunggu lanjutannya....
Iya, Kak.
HapusTerima kasih telah berkunjung.