“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Pegiat literasi atau yang hobi membaca buku, pasti kenal pemilik dari quote di atas. Ya, kalimat itu milik sastrawan legendaris, Pramoedya Ananta Toer.
Memang benar apa yang dikata Pram, tulisan bisa menjadi jejak abadi di dunia yang sifatnya hanya sementara ini.
Dari tulisan pula bisa menjadi warisan abadi, tak terputus, dari anak, cucu, cicit, kerabat, generasi seterusnya bahkan hingga alam kubur sekalipun.
Setiap kata yang baik yang tertulis di buku kemudian dapat menginspirasi orang yang membaca, sehingga orang tersebut meniru kebaikan-kebaikan penulis maka hal itu menjadi amal yang tak terputus atau jariyah.
Tentunya semua orang menginginkannya, hanya saja lebih banyak yang sekadar ingin, tanpa mengusahakannya dengan sungguh-sungguh, atau merasa perlu menunggu waktu yang tepat untuk melakukannya. Padahal, tak perlu waktu khusus, saat biaya telah ada, atau bilamana telah berpendidikan tinggi. Yang cukup bisa Anda lakukan adalah menulis di buku catatan harian. Tak perlu harus dicetak di suatu penerbit, harus ber-ISBN, ber-cover dan kelebihan lainnya. Tak perlu itu. Yang perlu dilakukan adalah teruskanlah kebiasaan mencatat itu. Karena dari catatan harian itu bisa jadi salah satu catatan sejarah yang mengungkap peristiwa penting. Banyak tokoh-tokoh dunia, yang mewariskan catatan harian. Tulisan-tulisan para tokoh ini menerangkan pengalamannya yang terjadi pada masanya.
Contohnya, kita menengok sejarah Holocaust, atau yang terjadi pada saat Perang Dunia II. Kita akan mendapati nama Anne Frank. Seorang gadis kecil keturunan Yahudi yang tewas saat Holocaust. Namanya mungkin akan lenyap dalam sejarah dunia jika dia tak mewariskan sebuah tulisan di buku diarinya. Jika Anne tak menulis, mungkin juga saya tidak akan membahas dirinya di tulisan yang Anda baca ini. Dulu, ketika Holocoust yang mencekam itu, Anne bersembunyi. Alih-alih bukannya diam, justru Anne mencurahkan rasa kecemasannya, ketakutannya, impiannya, dan pengalamannya di dalam buku diarinya.
 |
Foto Anne Frank dan catatannya (photo: history.com)
|
Pasca perang, diari ini ditemukan kemudian diterbitkan dalam banyak bahasa untuk digunakan sebagai acuan sejarah perang dunia II.
Sementara di Indonesia, ada nama Soe Hok Gie. Semasa muda dia adalah seorang mahasiswa jurusan sejarah UI sekaligus aktivis. Soe Hok Gie hobi menulis, tulisannya sering dituang dalam buku harian pribadi, dan ada pula artikel-artikel sarat kritikan kepada pemerintah yang dimuat di koran nasional. “Catatan Harian Seorang Demonstran” adalah judul buku yang diterbitkan di tahun 1983. Buku ini asalnya dari kumpulan tulisan dari buku diarinya, yang berisi opini, pemikiran, pengalamannya saat menjadi seorang demonstran, dan tak tertinggal pula catatan kecil hubungan manusia dengan hewan peliharaan. Ia dikenang sebagai pahlawan muda yang terkalahkan, karena dia meninggal ketika umur 26 tahun. Ditambah pula dengan warisan tulisannya, yang banyak orang terinspirasi akan semangat perjuangannya sebagai seorang aktivis. Tulisannya yang mengkritik tajam pemerintah Soekarno saat itu, tulisan skripsinya tentang sejarah pemberontakan menjadi bahan diskusi dan perbincangan di kalangan akademisi; mahasiswa, dosen-dosen, bahkan para professor dan peneliti sejarah.
Kemudian, Moh Jasin Khoiron, tak ada orang yang mengenal tokoh ini kecuali dari kalangan keluarga saya sendiri. Beliau adalah bapak saya yang telah meninggal sejak tahun 2015. Beliau yang kelahiran 12 September 1948 pahlawan bagi saya pribadi, sebab dari beliau saya bisa mencontoh kebiasaan menulis dan membaca. Utamanya menulis, betapa menulis itu bermanfaat. Dari tulisan yang usang dan meninggalkan kenangan masa lalu, bapak telah memberikan informasi yang lengkap mengenai silsilah keluarga. Mulai dari embah buyut hingga lahirlah saya. Di Jawa, ada istilah “Aja nganti kepaten obor” (jangan sampai apinya padam). Istilah ini diungkapkan ketika hendak membangun ikatan kekeluargaan dengan kerabat atau saudara, bahkan yang jarang kita temui sekalipun. Nah, catatan bapak mengenai family tree ini menjadi penting, khususnya bagi generasi muda (seperti saya) dalam wangsa atau dinasti atau trah. Saya merasa sudah ‘putus pertalian’ dengan generasi yang lebih tua atau saudara jauh. Dengan kehadiran penemuan catatan bapak ini semakin membuat saya atau keluarga tahu pengetahuan akan silsilah keluarga. Ini juga bertujuan agar relasi tidak lemah antarindividu di dalam keluarga besar. Sebab ikatan kekerabatan sangat penting untuk memperkaya jaringan dan lingkar hubungan dalam kehidupan sosial seseorang.
Dari catatan bapak pula saya jadi tahu bahwa moyang dari bapak rupanya dari Kudus. Berikut ini foto jejak bapak dalam buku catatan.
 |
Tumpukan buku-buku catatan bapak
|
 |
Silsilah keluarga, salah satu manfaat dari jejak bapak.
|
Rasulullah pun berpesan kepada kita, dirangkum pada hadis HR at-Tirmidzi:
"Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalnya kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak soleh yang terus mendoakan kedua orang tuanya,"
Menulis buku sudah termasuk sedekah jariyah dan ilmu yang bermanfaat. Artinya, selama orang yang membaca bisa mengambil manfaat dan kebaikan dari buku maka penulisnya (meskipun sudah meninggal) akan mendapatkan pahala. Meskipun ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia hanya setitik saja jika dibandingkan luasnya samudra ilmu Sang Khaliq. Jika bisa menulis yang bermanfaat atau bisa menginspirasi banyak orang, maka tulislah dengan senang hati. Bila pun tulisannya dinilai punya manfaat yang sedikit, setidaknya bermanfaat untuk orang dekat dulu, misal anak, istri, atau seduluran, ajarkanlah kepada mereka akan kebiasaan yang baik ini.
Tak ada alasan untuk tidak berbagi ilmu dengan mencatat, jangan juga menunggu berstatus sebagai guru atau dosen. Saya saja anak STM. Karena saya percaya bahwa setiap manusia yang mau belajar, kemudian mengajar, setelah itu mengembangkannya, maka sesungguhnya pilar peradaban tengah ditegakkan.
good
BalasHapusThanks, Koeng.
HapusCuss langsung nulis!!!!!
BalasHapusAlhamdulillah. Semangat terus buat nulisnya!
HapusTrimakasih menginspirasi, kebiasaan saya yang sudah lama mati..buku harian..
BalasHapusHarus dihidupkan lagi pokoknya!
HapusSemangat dalam menciptakan keabadian!
Good job....
BalasHapusThanks
HapusKok keren gini tulisannya mas. Good.
BalasHapusTerima kasih MJ...
HapusNice
BalasHapusSo nice? sosis ya? hehe
HapusMakasih atas informasinya yang menginspirasi
BalasHapusSama-sama, salam literasi!
Hapuswah Soe Hok GIe itu saya baca masih SMP tahun berapa ya itu 1994. Tapi sampais ekarang masih melekat di kepala. Buku setebal itu malahs aya baca berulang ulang.
BalasHapustapi kalau novel-novel sekarang saya suka seperti novelnya Afifah Afra, S Gegge Mapanggewa yang selalu mengambil kearifan lokal dalam setiap ceritanya
kunjung balik ke wiwidstory dot com ya, mas. thanks
Wah, nama-nama yang kakak sebutin Afifah Afra dan S Gegge Mapanggewa mungkin jadi wishlist. Terima kasih komentarnya.
Hapusbagus, kunjungi balik ya
BalasHapusoke gan...
Hapusbagus, kunjungi balik ya
BalasHapussiap...
HapusSetuju bang, menulis itu sama dengan hidup selamanya,, tepatnya pemikiran kita hari ini bisa tersampaikan utk seseorang d masa depan,,,
BalasHapusSaya pernah tuh baca bukunya soe hok gie tapi gak ditamatin,,
Iya, benar. Umur tidak ada yang tahu, akan tetapi kita tahu pasti kita mati. Maka, menulis adalah menampung nyawa ke wadah buku.
HapusKeren mas .. jadi kangen bapak saya
BalasHapusMakasih.
Hapus