Desember 26, 2020

Tak harus Menempuh Pendidikan Sastra untuk Menjadi Penulis
menulis-jember
Apakah untuk menciptakan karya sastra harus sekolah di jalur sastra dulu? 

Jawabannya tidak. 

Siapa yang memberi jawaban itu? 

Saya. 

Karena saya sudah membuktikan sendiri, jalur pendidikan SD, SMP, SMK (jurusan gambar bangunan), kemudian kuliah di Ushuluddin sampai semester 4 saja, sekarang passion yang saya miliki adalah menulis dan sampai sekarang belajar menjadi penulis yang baik. Disela-sela menulis saya bekerja sama orang, sesekali mengukur jalan alias ngojek. Dimanakah yang nyambung? 

Jangan katakan menulis itu bakat. Jika kita membicarakan tentang bakat, dibeberapa kasus, kata “bakat” ini tak masuk akal dan tak adil, sebab ia seolah-olah menggantikan kata “takdir”. Kenapa? Logikanya, tak ada orang yang berbakat menjadi tukang instalasi listrik, atau tukang servis komputer, tukang kayu atau pemain sepak bola (misal Cristiano Ronaldo), atau petinju (misal Mohammad Ali). 
Semua harus melalui latihan. Bukan karena bakat. 
Cristiano Ronaldo yang berlatih keras melatih kakinya sehingga setiap kali kita melihat aksinya dalam mengolah si kulit bundar, melewati lawan satu per satu, tak lepas dari permainan indah yang kerap diperlihatkan. Kemudian tiba-tiba saja pemain bola idola saya itu dimasukkan ke ring tinju begitu saja, menghadapi Mohammad Ali. 

menulis-jember
 Ronaldo pasti berlatih keras dan tentu saja rutin. Pun sama dengan menulis.

Jadi, apakah dengan jurusan sastra dapat menghasilkan karya tulis? 
Tidak juga. Kawkab Barralimara, seorang mahasiswi jurusan S1 Sastra Indonesia, Universitas Indonesia, berkesempatan menulis wawancara Sapardi Djoko Damono yang kala itu sedang bertamu di kampusnya. Tentunya jawaban ini yang paling kuat dan relevan atas persoalan ini, Sapardi Djoko Damono mengungkapkan bahwa, “jika ada yang bilang bahwa mahasiswa fakultas sastra mesti jadi sastrawan, itu seratus persen salah. Sastrawan tidak harus lahir dari fakultas sastra. Mahasiswa dari semua fakultas dan semua jurusan di perguruan tinggi berhak menjadi sastrawan sebab mata kuliah untuk menjadi sastrawan tidak diajarkan di fakultas manapun dan memang mata kuliah tersebut tidak ada. Jadi, 
jika ada mahasiswa dari fakultas selain fakultas sastra yang jadi sastrawan itu disebabkan kekreatifan sendiri, kemauan membaca, dan mempelajari karya sastra. 
Jadi, mahasiswa kedokteran bisa jadi sastrawan. Mahasiswa ekonomi bisa jadi kritikus. Mahasiswa sastra bisa jadi sastrawan. Saya menjadi sastrawan bukan karena saya alumni sastra, tetapi sebelum masuk fakultas sastra saya sudah menulis. Contoh lagi, Rendra. Dia menulis sejak SMP. Satu lagi, Chairil Anwar, dia lulusan SMP, tetapi dia bisa menjadi sastrawan yang terkenal. Jadi, kita tidak bisa menyalahkan.” Tulisan ini juga dimuat dalam Majalah Gaung, No. 1, terbitan Tahun 1999. 

Sementara itu HAMKA, ulama tersohor kelahiran Agam, Sumatra Barat, telah menghasilkan lebih dari seratus judul buku. Apakah beliau menempuh pendidikan sastra? Tidak. Justru beliau hanya sampai kelas 2 sekolah dasar (SD) untuk pendidikan formalnya. Berkaca dari sini, kita yang lulusan atau tidak lulus SD, SMP, SMA/SMK bisa juga berkesempatan menjadi seorang penulis. HAMKA mengatakan: 
”Jika ingin mengarang, hendaklah lebih banyak membaca daripada menulis. Karena, kalau kurang bahan bacaan, mengarang bisa macet seperti kendaraan kehabisan bensin.” 

menulis-jember
Karya HAMKA dalam terjemahan Melayu.

HAMKA adalah salah satu diantara banyak contoh nyata untuk menjadi penulis tak harus menempuh pendidikan tinggi, sebab ia bukan syarat mutlak menjadikan kita seorang penulis. 

Kebetulan pula, saya pernah diberi wejangan juga oleh seorang mahasiswa ekonomi Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) dari Payakumbuh, Sumatera Barat. Jadi semakin mengisbatkan perkataan HAMKA yang berasal dari Sumatera Barat juga. Mahasiswa—yang bernama Eka Suryadi itu—mengutarakan untuk menjadi seorang novelis atau cerpenis, dalam hal ini menulis untuk menjadi penulis, tak perlu menempuh jalur pendidikan sastra. Menurutnya, jika masuk di jurusan sastra khazanah tulisan seseorang tidak akan luas, hanya terpatok oleh teori-teori sastra di kampus saja. Sebaliknya, jika saya mengambil jurusan lain, dan tetap istiqomah gemar membaca dan menulis, maka perbendaharaan tulisan seseorang itu akan luas. Katanya—maaf jika kelewatan—bahkan bisa-bisa melebihi luasnya tulisan anak-anak jebolan pendidikan sastra. Orang yang suka membaca tanpa harus masuk fakultas sastra, ia ibarat sebagai orang yang datang membawa pembaharuan dibidang sastra. Saya mengamini perkataannya, sekaligus tak mengiyakan sepenuhnya. 

Seiring berjalannya waktu dan silih bergantinya interaksi dengan kenalan-kenalan akademis. Seorang teman bernama Baha, mahasiswa Kolej Dar al-Hikmah, asal Lampung, mengatakan bahwa Dan Brown itu orang matematika dan dia berhasil menulis novel master piece. "Kamu bisa sepertinya," semangatnya. Memang, kalau dari sisi akademik, saya (terpaksa jadi) orang matematika, dan (terpaksa juga) berteman dengan sin, cos, tan, mengukur kuda-kuda, menghitung RAB, mendesain dengan AutoCad, mengukur ketinggian bangunan. Akhirnya, di atas bangunan itu saya jatuh, dan bersyukur bisa ditopang oleh kesusastraan. 

Nyatanya, teman literasi saya, Rizem Aizid, yang juga penulis top Divapress, mengatakan bahwa dia sering mendengarkan gerutu seorang yang ingin menjadi penulis tapi kesulitan dan meminta ke kepadanya untuk diajari menulis. Rizem memberi sudut pandang berbeda bahwa belajar menulis itu bukan seperti matematika, menulis adalah kegiatan yang santai tapi serius. Sedangkan matematika butuh konsentrasi lebih agar tidak salah menjawab soalan. Karena matematika itu ilmu pasti, sedangkan sastra itu mengenai lukisan yang berupa kata, butuh seni, butuh lekuk, butuh sentuhan artistik. Dia dikesempatan mengisi pelatihan menulis, sempat bingung ketika ada peserta yang bertanya cara menyusun kalimat yang baik dan benar agar tulisan mudah diterima media. Dia mengaku sejak proses awal belajar menulis, tidak pernah satu kali pun dibimbing cara menyusun kalimat oleh mentor. 

menulis-jember
Karya Rizem Aizid, diambil dari kisah nyata proses dirinya menjadi penulis. Menarik untuk dimiliki.

Uniknya, jenjang pendidikan yang ditempuh Rizem sama, cuma beda nasib. Dia sarjana lulusan Fakultas Ushuluddin di Universtitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Dia sudah berstatus Sarjana Ushuluddin, sementara saya hampir menjadi Sarjana alias berhenti di semester 4. Saya yakin di kampusnya Rizem tak diajarkan bagaimana cara menulis yang baik untuk bisa menjadi penulis top. Dia berlatih sendiri bagaimana untuk bisa menghasilkan sebuah tulisan yang baik. Dan Rizem suka sekali dengan kegiatan membaca.
Jadi, kesimpulannya, semua orang bisa menjadi penulis, kecuali buta huruf. Jika ingin menciptakan suatu karya tulis yang benar (sesuai kaidah) dan bagus (dari pengolahan kata) maka banyak-banyak membaca dan tumbuhkan bibit-bibit cinta membaca. 

Gemar menulis dan membaca dua aktivitas ini yang menjadi kendaraan saya menjadi penulis, untuk menambah kenalan di Tanah Air maupun luar negeri, yang punya passion sama dibidang literasi.

0 Comment:

Posting Komentar

Contact

Kirim saya Email

Hubungi

ContactInfo

Secara etimologis, kata literasi (literacy)berasal dari bahasa Latin “literatus” yang artinya adalah orang yang belajar. Literasi erat hubungannya dengan proses membaca dan menulis. Namun, seiring berjalannya zaman, literasi mengalami perkembangan definisi yang baru, diantaranyaliterasi sains,literasi digital,literasi numerasi, literasi finansial, literasi budaya dan kewargaan. Khusus di website ini, membahas tentang literasi baca dan tulis atau manfaat berjejak hidup lewat kata.

Alamat:

Jln. Sunan Bonang No. 42A, Jember.

Phone:

+62 812 3254 8422

Email:

admin@mediapamungkas.com