Kesuksesan adalah hal yang sangat favorit untuk bahan perbincangan. Kata “sukses” ibarat telah memenuhi hati dan pikiran setiap insan, tanpa kecuali. Sebenarnya kita semua tahu sukses tidaklah datang dari cup mie, tinggal seduh dan makan. Yang bisa dikatakan kesuksesan itu justru yang memproduksi mie instan, sebab ia punya pabrik besar, selain itu “mie instan” dipakai sebagai kata-kata pengibaratan: “kesuksesan itu tidak seperti mie instan”. Baik, maaf, paragraf pertama dibuka dengan ngelantur.
Seperti judul di atas, “Penulis tidak bisa menjadi Public Speaker?” jadi topik pembahasan dipagi yang dingin ini (sementara di TPS panas), mengenai cara menjadi penulis sekaligus pembicara sukses di depan umum.
Saya kenal dengan beberapa teman penulis, sengaja tak disebutkan nama dan jumlah. Karya mereka ratusan, ada yang best seller, ada yang dialihbahasakan ke bahasa asing, bahkan ada yang sudah diangkat di layar lebar. Secara karakter, mereka lebih cenderung pendiam, atau kalau berbicara maka seperlunya saja. Berbanding terbalik dengan tulisan mereka yang lebih banyak “berbicara” sampai ratusan halaman dan tentunya berbobot. Saya adalah salah satu sample yang sama dengan mereka, kurang lancar berbicara dan secara tulisan juga ringan-ringan saja.
Akhir-akhir ini saya berpikir saya harus mencoba menyalurkan ilmu saya (yang sedikit) secara lisan. Yang tadinya "dibaca", menjadi "didengar". Memandang beberapa pemerhati wawasan di negeri lebih suka mendengarkan, dibanding membaca. Pernyataan pribadi ini diperkuat oleh penulis Kompasiana, Chappy Hakim, dalam bukunya Cat Rambut Orang Yahudi, di bab Malas Membaca dan Malas Menulis. Secara keseluruhan dari pengalaman Chappy, sebagai seorang tokoh militer yang telah kenal dan bertemu dengan orang banyak, saya menyimpulkan di negeri ini budaya membaca masih minim. Lebih suka mendengarkan.
Ingin sekali menebarkan manfaat dari ilmu yang masih sedikit ini secara lisan. Mencari sensasi yang lain. Mengingat penggalan sabda Nabi bahwa sesungguhnya yang sampai kepada seorang mukmin dari amalannya dan kebaikannya setelah meninggal dunia ialah, ilmu yang ia ajarkan dan ia sebarkan… (HR Ibnu Majah, Al-Baihaqi dan Khuzaimah).
Masalahnya saya terkendala di jalur. Selama ini saya lama sekali berada di jalur tulisan, bisa dibilang lurus dan lempeng. Kalau tiba-tiba beralih haluan ke lisan (speak). Bisakah?
Dalam tema From Writer to Public Speaker, yang diwadahi oleh The Jannah Institute (TJI), Mbak Prita HW menyampaikan bahwa untuk menjadi public speaker sebenarnya berada di jam terbang. Kata beliau,
Semua orang bisa jadi master atau expert di bidangnya. Yang diperlukan adalah latihan dan repetisi (pengulangan) secara simultan, sampai keahlian itu menjadi gerak reflek saat kita mengeluarkannya.
Saya sependapat dengan founder TJI, Mbak Prita. Sebab saya sendiri mempunyai kemampuan menulis, dari waktu ke waktu semakin meningkat karena latihan. Ditambah lagi mencari ilmu menulis dari penulis lain serta referensi yang saya dapatkan dari beragai sumber. Berawal dari hobi menulis semasa SMP, hingga sekarang saya masih saja belajar dibidang kepenulisan ini. Kenapa saya sebut belajar? Ya, diperjalanannya saya masih saja menemukan kesalahan dalam menulis.
Sama halnya dengan public speaker, bagi orang yang tak pernah jadi pembicara di depan umum, gugup adalah hal yang biasa. Namun, rasa gugup bisa diminimalisir dengan terus melangkah dengan keyakinan penuh dan penguasaan materi yang akan dibawakannya.
Membaca dan berbicara, menurut Mbak Prita adalah merupakan kecerdasan linguistik yang ada dalam jajaran jenis kecerdasan majemuk (multiple intelligence). Keduanya sama-sama memproses kata-kata dalam pikiran, dengan output yang beda genre. Satunya dalam bentuk lisan, satu lagi dalam bentuk tulisan. Prosesnya sama.
Nah, saya akan mencoba.
membaca dan mendengar, perpaduan yg pas. Semangat mencoba, Mas Saad ✊
BalasHapusTerima kasih, Mbak Prita...
Hapus