Penyesalan biasanya terjadi dikemudian waktu. Ketika masih muda dan lajang, banyak kesempatan waktu tapi digunakan dengan aktivitas kurang bermanfaat. Salah satu contohnya bermain game terlalu lama. Sampai-sampai lupa waktu dan menjadi maniak game.
Salah satu korban game itu adalah keponakan saya sendiri. Dia di mana-mana, push rank. Lagi makan, push rank. Sebelum tidur, push rank. Sedang sekolah online, push rank. Pokoknya push rank terus.
Padahal hidup adalah game, kenapa musti ditambah bermain game?
Padahal waktu bisa dimanfaatkan untuk meraih reputasi dalam suatu bidang tertentu.
Karena blog ini mengenai kepenulisan, maka pembicaraan tidak jauh seputar itu.
Baik, tidak berarti saya katakan nge-game sia-sia, tapi kita harus melihat esensi dari perbuatan tersebut. Apakah bermanfaat secara langsung—selain nge-refresh pikiran—bagi kita? Atau secara finansial apakah bisa membantu? Apakah dengan naiknya level permainan tersebut, membuat level kehidupan kita yang real lebih gampang? Tentu saja, Anda tahu bahwa pertanyaan ini retorika saja.
Kini saya sudah berkeluarga. Sampai sekarang berusaha untuk tidak berhenti dari kegiatan menulis. Sebab kegiatan ini menurut saya bisa memelihara pikiran tetap dalam pendirian, bahwa sebuah tulisan itu adalah tali yang mengikat kuat ilmu. Menulis itu perbuatan mulia yang menjauhkan kita dari ketidakpintaran dan sifat lupa.
Lalu, pertanyaannya adalah,
Bagaimana caranya menulis saat sudah berkeluarga? bukankah repot?
Pikiran dan perhatian kita terbagi menjadi beberapa bagian; keperluan harian, perhatian kepada pasangan, belum lagi ada anak? Bagaimana caranya konsentrasi apabila anak gondeli kita yang sedang menulis?
Semua tergantung kepada niat saja. Terdengar klise kan? Tapi begitulah, jika niat kuat kita tak akan mudah menyerah untuk terus berusaha mewujudkan mimpi kita. Saya menulis blog tema ini pada jam 1:23 AM (saat mata melirik ke bagian pojok kanan bawah dari laptop). Sebelum menulis blog ini, mata saya berat sekali padahal ingin menulis, ide siap dituang. Beberapa jam kemudian, saya ngelilir, dan tergerak untuk menulis blog dengan tema yang sekarang Anda baca ini. Ada tips agar kita bisa terjaga di tengah malam, "pakai alarm, kah?" Bukan. Kurang efektif cara itu. Baca sampai habis ya!
Salah satu motivasi saya menulis tulisan ini adalah dari seorang anak SMP kelas satu dari Ponorogo, dia bertanya kepada saya, "bagaimana cara menjadi seorang penulis?" saya jawab "sering-seringlah membaca". Lalu ia menjawab, "sudah sering. Tapi kenapa mood kadang turun, turun, dan akhirnya tidak ada? ini pas kebetulan ada, Kak," begitu katanya.
Saya suka sekali dengan tekadnya ingin menjadi penulis. Apalagi dia masih belia.
Mengenai mood, jangan menunggunya datang. Jika tetap setia menunggunya, jemari kita tak gerak-gerak. Semua harus dipaksakan. Kebiasaan itu harus dipupuk dengan terpaksa. Bagaimana kalau masih sulit? sekali lagi dipaksa! Coba Anda perhatikan lumba-lumba, ikan itu senantiasa lompat-lompat dikurun waktu tertentu. Kenapa mereka melakukan itu? kenapa tidak capai? Ya, karena mereka terbiasa.
 |
Lumba-lumba tak akan capai melompat-lompat karena kebiasaan.
|
Begitu juga dengan kita, apabila tidak ada kegiatan di ruang tunggu (misalnya), kita "terpaksa" main game sambil menunggu waktu nama kita dipanggil atau menunggu kendaraaan umum datang menjemput kita. Kenapa kok main game? Apa enggak capek? Pasti jawabannya: "ya enggak lah, kan asyik" atau "Memangnya gimana cara menyenangkan diri pas saat nunggu?"
Ini karena kebiasaan. Coba sambil menunggu sesuatu bukalah lembaran buku. Mungkin saran saya ini ditolak mentah-mentah atau dianggap aneh. "Eh, yang bener aja, menunggu itu membosankan, malah disuruh baca buku, bosennya malah berlipat-lipat!"
Baik, Indonesia ini penduduknya memang lemah dalam hal berliterasi baca-tulis. UNESCO memaparkan kita berada di urutan kedua dari belakang, minat baca kurang. Urutan 61 dari 62 negara.
Ketika kita berusaha memanfaatkan waktu dengan baik, misal di tempat umum membaca buku, malah kita menjadi objek yang langka. Kita bisa sendirian. Bahkan bisa jadi kita menjadi objek foto candid , lalu di-upload di medsos dengan caption: "Ini contoh orang yang patut ditiru". Tapi nyatanya ditiru, kah? Apa harus menunggu yang baca buku banyak orang, barulah kita ngikut. Begitukah? Harus dimulai dari kita, satu orang kalau perlu. Berani beda?
Kembali lagi ke kegiatan menulis disaat berkeluarga. Apakah bisa? Jawabannya adalah bisa. Wajib ada niat. Bagaimana wujud dari niat itu? diantaranya adalah:
• Menyisihkan waktu dengan sungguh-sungguh
Kalau niat sudah sampai ubun-ubun, kita jangan mau kalah dengan alasan-alasan yang keluar dari pikiran negatif, yakni tidak mungkin. Anda harus yakin, Anda tidak hanya mungkin tapi sangat bisa melakukan.
• Lihat celah ketika istri dan anak tidur
Seperti malam ini, saya melakukan aksi menulis saat istri dan anak tidur. Kali ini angka berganti menjadi 1.28 AM. Kenapa harus mencuri waktu seperti ini? Karena kita jangan sampai lupa waktu bersama keluarga, istri perlu perhatian, anak juga perlu perhatian. Tapi bukankah kalau menulis hingga larut malam itu tidak perhatian terhadap diri sendiri? Ya, benar juga sih. Tidak salah. Malah kita jahat pada badan terutama mata kita yang terpaksa melek. Nah, loh, bagaimana?
• Tumbuhkan cinta terhadap kegiatan menulis
Di poin ini, jawaban dari pertanyaan dari poin dua. Apabila kita sudah cinta dengan sesuatu, kita akan mengusahakan dengan segala cara. Jika kita cinta menulis, dan tak ingin dengan cinta ini menyiksa kita, utamanya mata, maka kita harus cari solusi.
Saya biasanya tidur awal. Lalu, terpaksa melek karena sebelumnya minum banyak air, saya terpaksa ke kamar mandi, karena sesuatu yang mendesak ini. Rencana saya ini berhasil. Di kamar mandi saya basuh muka, sehingga melek lebih lebar. Padahal sebelumnya ngantuk. Lalu, seperti yang Anda baca sekarang, Anda membaca tulisan saya ini, saya tulis sesudah tidur. Artinya mengistirahatkan mata terlebih dahulu.
Nah, itu saja, tips sedikit dari saya. Semoga menginspirasi Anda semua. Jangan ada lagi alasan apa pun berhenti menulis. Jadilah penulis yang tangguh tanpa tanggungan pesimis!
Salam literasi!
0 Comment:
Posting Komentar