Saya dulu merasa kalau ijazah adalah segalanya. Semakin tinggi gelar dalam ijazah maka kesuksesan bisa diraih. Saya merasa sulit membayangkan bisa menempati posisi nyaman di perusahaan bergengsi tanpa punya gelar.
Tapi anggapan saya berubah saat kerja bersama JPI (Jasa Paket Indonesia) Sdn. Bhd sebuah perusahaan cargo milik pengusaha Indonesia yang bermarkas di Malaysia. Saya buka dengan masa interview kali pertama,
“Kamu punya skill apa?” tanya seorang perempuan kitaran umur 40-an, direktur utama. Waktu itu merangkap sebagai HRD mendalami calon pekerjanya, saya seorang.
“Bisa mengoperasikan
Microsoft Office, MS excel dan
MS Word, dan bisa mengetik 10 jari.”
“Lulusan?”
“Hanya lulusan SMK…” terang saya, malu-malu.
“Enggak apa-apa, selama kamu mau mencoba dan belajar. Bahkan, diperusahaan saya hanya ada satu yang bertitel sarjana. Bagaimana? Sudah siap?” terang direktur perusahaan.
“Saya akan mencoba dulu,” pendek saya. Kata-kata pendek ini justru menginspirasi saya sampai sekarang dan mungkin sampai akhir hayat. Kata-kata sederhana ini “mencoba dulu” berkaitan dengan rumus-rumus kehidupan agar untuk lebih berusaha (mencoba) lebih keras atau selalu belajar dalam meniti kehidupan. Kemudian direktur itu memberi detail apa yang harus saya lakukan di perusahaannya.
Mohon maaf apabila ada teman atau pihak seperusahaan yang membaca tulisan ini. Saya tak akan mengupas kelebihan dan kekurangan yang berada di perusahaan ini. Apatah lagi yang bersifat rahasia.
Hari pertama saya bekerja di JPI, saya membuat manifest kiriman atau lembar bukti serah terima yang berisi daftar dokumen atau barang yang dikirim melalui cargo. Didalam manifest terdapat nomor kiriman (barcode) serta dikelompokkan berdasarkan jenis kirimannya. Di sini saya dituntut agar teliti, jangan salah tulis. Bekerja dibagian ini berlangsung sampai sekitar 3 bulanan. Berlahan-lahan dengan kesabaran assistant bos yang berasal dari Pariaman, diajari bidang pekerjaan lainnya. Saya mulai dijadikan sebagai admin logistik yang bertanggung jawab pada shipping dan delivery untuk produk baik proses dan prosedurnya dan juga kesiapan dokumen yang akan disertakan.
Sedikit demi sedikit belajar bagian pekerjaan lainnya, seperti warehouse (gudang penyimpanan) berupa distribusi dan juga pengontrolan gudang untuk kepentingan lainnya. Berlahan-lahan juga belajar mengenai operation staff, di bagian ini dituntut bisa untuk memperkirakan kedatangan barang yang dikirimkan, pelaporan, persiapan dokumen pengiriman barang, (termasuk di dalamnya) manifest dari pengiriman barang dan beberapa tugas lainnya.
Seiring berjalannya waktu, yang awalnya hanya bekerja di satu sisi akhirnya banyak sekali pengalaman baru dan skill yang semakin terasah.
Ada peristiwa yang sulit dilupakan, temanya jika tak berlebihan itu "STM vs S1". Ceritanya begini, suatu siang ada seorang pelamar kerja yang berasal dari Jakarta datang ke kantor cargo tersebut. Ia (kalau seingat saya) bergelar S1 sarjana informatika. Orangnya tinggi dan berkaca mata. Terlihat begitu smart. Ia masuk ke ruangan bos. Dari cermin terlihat perbincangan serius. Entah karena apa, ia keluar dari ruangan bos dan berkata, “saya tidak memenuhi kriteria bos kamu.”
Dari sini saya semakin tahu bahwa pendidikan tinggi tidak dijadikan kriteria untuk direkrut, yang diperlukan itu skill dan selebihnya menjadi rahasia perusahaan bagaimana cara mengukur kelebihan dan kekurangan pelamar secara keseluruhan, sehingga memutuskan mengambil atau tidak.
Pengalaman yang menarik lain saat saya dikirim sebagai perwakilan perusahaan yang ditempatkan di Kota Medan. Di Kota Medan pekerjaan saya tak seberat dan sebanyak seperti di kantor pusat, hanya mengurus operasional loading (pembongkaran dari kontainer), membuat laporan pengiriman, dan harus pergi ke Belawan untuk mengurus dokumen Bill of Lading atau B/L (dokumen yang dikeluarkan dan disahkan oleh pihak pelayaran). Dari Kota Melayu Deli tersebut saya akhirnya bisa ‘menyemplungkan’ diri ke air danau bernama Toba alias Danau Toba, Samosir. Mengingat di waktu SMK di Jember, Danau Toba sering saya lewati tapi sebagai nama jalan (hehe).
 |
Saya (berbaju kuning, paling kanan). Foto ketika di Samosir.
|
 |
Saya berbaju batik nyemplung ke Danau Toba.
|
Di Kota Medan saya sempat berkeliling lintas kabupaten bersama supir mobil box, ikut mendistribusikan barang, seperti Kabupaten Asahan, Batu Bara, Deli Serdang, Humbang Hasundutan, Karo, Langkat, Mandailing Natal, Samosir, Bedagai, Simalungun, Binjai, Padangsidempuan, Pematangsiantar, Tebing Tinggi dan banyak kabupaten lainnya. Selaku kenek supir, saya dapat asam garam rupanya tidak mudah menjadi penghantar barang. Yang paling mendebarkan itu ketika mobil box jalan sendiri di kontur tanah merah yang curam, ditambah lagi licin karena waktu itu musim penghujan. Mobilnya berjalan sendiri menuju ke sisi sungai. Alamat nyawa terancam. Untungnya dengan kecakapan supirnya bisa mengendalikan dan berjalan sedikit demi sedikit menjauh dari sungai.
Pengalaman-pengalaman bersama perusahaan besar itu mengingatkan saya dengan perusahaan Apple yang merekrut pegawai tanpa melihat gelar sarjana. Lebih mementingkan yang bisa mengerjakan tugas yang diperlukan perusahaan. Di buku biografi mengenai Steve Jobs, saya dapati data sekitar separuh pekerja Apple tidak bergelar sarjana. Alasannya, tidak semua perguruan tinggi mengajarkan skill yang benar-benar dibutuhkan perusahaan teknologi, misalnya saja kemampuan coding. Coding bahkan ada yang bisa dilakukan anak SMA, seperti yang dilakukan anak SMA asal Tangerang yang viral bisa menembus berbagai celah situs-situs besar. Putra (namanya, kalau tidak salah) cakap sekali menggunakan code-code rumit dengan belajar otodidak.
Dari tulisan ini, saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya, sebanyak-banyaknya, atas diberi kesempatan bekerja di perusahaan cargo Anda selama 4 tahun. Semoga cargo Anda maju dan berekspansi di seluruh penjuru dunia. Sebagaimana perusahaan Apple.
 |
Saya paling kiri sendiri. Pas merem. Hehe
|
(Anehnya, saya cari pekerjaan seperti itu di Indonesia, dari tahu 2014 sampai tahun corona enggak nemu-nemu atau pasti tercantum syarat sarjana. Ahh…sudah rontok semangat saya).
Semangat terus berliterasi!!!!!!
BalasHapusSemangat juga untuk Mas Bima di Medan.
Hapus