Gerak cerita itu berpengaruh sekali dengan kenikmatan dalam membaca. Dengan tambahan deskripsi maka gerak cerita jadi melambat dan memberikan kesempatan kepada pembaca untuk rileks sebentar. Dialog yang alot, perdebatan panas, dan gerak laku tokoh yang menegangkan akan membuat pembaca menahan napas. Ini sebenarnya terserah kepada penulis, karena penulis adalah ‘tuhan’ yang menciptakan tulisannya. Jika cerita berjalan terlalu cepat, dan merasa bahwa cerita itu akan membuat pembaca bosan, kita bisa bertindak memberi bagian yang akan memperlambat gerak cerita. Sebaliknya, jika cerita kita terasa lelet dan pelan, kita perlu 'tarik gas' agar cepat.
 |
Kumpulan cerpen "Gugusan Mimpi Pemuda Negeri"
|
Sebagai contoh, saya ambil dari salah satu karya peserta di kumpulan cerpen "Gugusan Mimpi Pemuda Negeri", berjudul “Ayah Kapan Pulang?” sebagai sampel cerita yang berjalan terlalu cepat. Kebetulan, saya menemukan “gerak cepat” itu di awal paragraf dibuka dengan kesan ketenangan kemudian paragraf kedua dan seterusnya kontras sekali cepatnya, berikut penggalannya:
Jam beker berdering memekakkan telinga. Arah jarum menunjukkkan pukul 06.00. Matahari mulai menyapa bumi dengan semburat sinarnya di ufuk timur. Tetesan embun sedang bergelayut di ujung dedaunan. Diiringi kicauan burung yang berlarian menyambut hari yang panjang. Kokokan ayam memecah kesunyian pagi itu. Udara dingin menyelisik disela-sela jendela yang dibiarkan terbuka. Krisna tak kunjung bangkit dari balutan selimutnya. Menambah kelekatan tubuhnya dengan kain yang lebih tebal. Ia masih ingin berada dalam dunia mimpi. Kehangatan keluarga kecil yang mendampinginya meniti sebuah jalan terjal untuk meraih sebuah impian.
Merina, ibu Krisna, tidak tahan dengan bunyi alarm yang terdengar hingga dapur. Ia menuju kamar Krisna kalang kabut. Takut masakannya menjadi gosong. Menarik knop pintu tanpa kehati-hatian. Segera menghentikan jam yang masih berdering dan menarik selimut dari tubuh Krisna. Tak selang lama, Krisna terbangun dengan mata yang masih melekat. Namun indera penciumanannya berfungsi lebih cepat, mengendus-endus aroma masakan. Ia bergegas keluar kamar dengan jalan sempoyongan tanpa menyadari Merina berdiri tepat di sampingnya. Kesadarannya masih belum utuh. Merina segera menyusul Krisna bahkan lebih cepat, ia tak ingin hasil karyanya berubah menjadi hitam pekat.
Di meja makan Merina sudah mendapati Krisna siap menyergap. Ia tak heran dengan tingkah anaknya. Dua cangkir teh dan potongan buah segar menemani hidangan utama pagi itu. Mata Krisna berbinar-binar menatap masakan yang baru saja dibawa Merina dari dapur. Terlihat keduanya menikmati momen ini setelah beberapa hari belakangan terbalut kesenduan.
“Ibu, kapan ayah pulang?” tanya Krisna memecah keheningan.
“Ayah akan segera datang,” jawab Merina sambil menyuguhkan senyuman yang tertahan. Lalu berpaling, ia tak bisa menahan genangan air di pelupuk matanya. Sedangkan Krisna berlari menuju jendela kamarnya, menjulurkan kepalanya dan menghirup udara yang melegakan pikirannya. Sampai kapan ia hanya mendengar kata-kata itu tanpa ada kepastian ayahnya datang.
Paragraf per-paragraf di atas ini masih belum tersentuh oleh penyuntingan. Masih naskah asli dari penulisnya langsung. Abaikan saja tanda baca, karena pembahasan tulisan ini fokus kepada gerak cerita. Kita akan merasakan bahwa gerak penggalan cerpen di atas ini terlalu cepat. Untuk lebih memperlambatnya, kita perlu edit dengan menambahkan beberapa deskripsi dan sedikit mengubah struktur alurnya. Sebagainya seperti di bawah ini:
Gara-gara dering alarm jam weker seketika kicauan burung dan kokok ayam lenyap. Bunyinya kencang sekali. Krisna bukannya bangkit, malah menambah kelekatan tubuhnya dengan kain yang lebih tebal, bertahan dalam dunia mimpi.
Merina, ibu Krisna, justru yang tak tahan dengan bunyi alarm yang tembus ke dinding-dinding hingga ke dapur. Ia ke kamar Krisna dengan tergesa-gesa khawatir kalau masakannya menjadi gosong. Menarik knop dengan cepat. Segera membungkam jam yang berisik yang menunjuk ke angka 06.00.
Meski matahari sudah menyapa bumi, udara dingin masih saja jadi pemenangnya, ia menelisik disela-sela jendela yang dibiarkan terbuka. Udara dingin pun menjalar di tubuh Krisna saat Merina menarik selimutnya. Tak selang lama, Krisna bangkit, duduk dengan mata yang masih melekat.
Tidak lama kemudian, Krisna mengendus-endus aroma masakan kesukaannya. Ia bergegas menarik diri dari kamar dengan jalan sempoyongan tanpa menyadari Merina berdiri tepat di sampingnya. Merina tak kalah cepat segera menyusul Krisna, Astaga masakanku!
Itulah awal pagi, kesibukan keluarga kecil yang mendampinginya meniti sebuah jalan terjal untuk meraih sebuah impian.
Di dapur Merina sudah mendapati Krisna di depan dua cangkir teh dan potongan buah segar. Menyusul kemudian masakan yang baru saja matang dengan asap lamat-lamat. Itulah hidangan utama pagi itu. Terlihat keduanya menikmati momen ini setelah beberapa hari belakangan terbalut kesenduan.
“Ibu, kapan ayah pulang?” tanya Krisna memecah keheningan.
“Ayah akan segera datang,” jawab Merina sambil menyuguhkan senyuman yang tertahan. Lalu berpaling, ia tak bisa menahan genangan air di pelupuk matanya.
Bagaimana? Berbeda bukan dengan sebelum diedit?
 |
Cerpen karya anak Mojokerto, "Ayah Kapan Pulang?"
|
Mungkin cara yang paling mudah untuk melihat bagaimana gerak cerita adalah dengan membuat pertanyaan.
Apakah cerita terasa bertele-tele? Kalau iya, kita perlu mempercepat geraknya.
Apakah aksinya terlalu cepat? Kalau iya, kita perlu memperlambatnya.
Perhatikan kalimat yang belum disunting di bawah ini:
“Ibu, kapan ayah pulang?” tanya Krisna memecah keheningan.
“Ayah akan segera datang,” jawab Merina sambil menyuguhkan senyuman yang tertahan. Lalu berpaling, ia tak bisa menahan genangan air di pelupuk matanya. Sedangkan Krisna berlari menuju jendela kamarnya, menjulurkan kepalanya dan menghirup udara yang melegakan pikirannya. Sampai kapan ia hanya mendengar kata-kata itu tanpa ada kepastian ayahnya datang.
Kalimat di atas ini sarat dengan aksi yang cepat. Setelah tokoh bernama Krisna bertanya, dan dijawab oleh ibunya, Krisna langsung pergi begitu saja. Pertanyaannya adalah, apakah suguhan di meja sudah habis apa belum? Kita jadi menjumpai kesan mengambang di kalimat ini.
Mungkin, dalam percakapan yang sulit dijawab, dan melibatkan ledakan-ledakan emosi, perlu menambahkan bahasa tubuh, atau menggambarkan karakter sedang memainkan sendok makanannya, tak selera untuk makan. Atau membiarkan karakter yang kita ciptakan itu sedang memikirkan bayangan masa lalu ketika masih bersama orang yang disayang. Dan sebagainya.
Jika kita ingin gerak cerita melambat, kita 'rem' saja dengan menambahkan deskripsi yang lebih detail, menjelaskan latar belakang sesuatu, mendeskripsikan perasaan karakter lebih dalam, masuk ke dalam pikiran karakter, dan kemungkinan deskripsi lainnya.
Begitu juga jika kita menginginkan cepat, kita 'gas' dengan memusatkan cerita pada aksi dan dialog. Acuhkan deskripsi, acuhkan reaksi, tulis aksi dan dialog seperlunya saja. Karena itu, jika dialog kita justru membuat cerita menjadi semakin panjang dan akhirnya terkesan bertele-tele, itu berarti gagal memperlakukan dialog.
Diakhir tulisan, tak lupa saya ucapkan terima kasih banyak kepada Kirana Almira Subyakto yang telah mengizinkan saya mengupas cerpen karyanya. Semoga kelak menjadi penulis hebat. Jangan berhenti belajar dan belajar. Semoga menjadi insan bermanfaat bagi khalayak.
0 Comment:
Posting Komentar