Karena kepribadian seperti inilah, aku memilih bersahabat dengan si jangkung. Siapa si jangkung itu? Ia adalah pohon langsep yang telah setia berdiri menungguku di luar jendela. Aku berkata kepada pohon langsep bahwa kemerdekaan itu hanyalah mitos belaka bagiku. Bayang-bayang dan dampak trauma itu terbayang sampai aku berusia puluhan tahun.Aku kadang getir dengan perilaku diriku. Tapi itu dulu. Percayalah, aku waras. Waktu itu lebih tepat dibilang sesat akal. Pelarian dari jalan yang benar-benar buntu.Aku hanya mencari ‘matahari kebahagian’ yang telah hilang setengah. Hampir tidak ada yang bisa kupercaya sebagai teman kecuali lebih percaya berteman dengan si jangkung itu. Aku takut berteman dengan yang yang sejenis denganku; manusia.
Kepribadian yang sebenarnya bukan milikku itu terpelihara hingga lanjut di bangku SMP. Di SMP—yang tak akan sudi kukenang itu—oleh guru-guru, terutama guru bahasa Inggris, aku diberi gelar ‘si bungkuk yang goblok’. Gelaran yang sesuai denganku. Guru yang lain sama saja menjengkelkan. Guru agama menyebut diriku ‘si bahlul’. Lalu menyarankan agar aku merukyah diri. Guru matematika justru berlagak punya indera keenam dengan mengatakan; “saya tahu pikiran murid cukup dengan menatap mata! Kamu melamun, kan?” sambil menudingku. Lalu menggelari diriku sebagai ‘murid pelamun’. Tapi tetap guru bahasa Inggris paling biadab. Dia sering mendaratkan penggaris di punggungku yang menurutnya sulit tegak.
Di atas, adalah penggalan dari cerpen berjudul “Hilang Setengah”. Tulisan tersebut saya ambil dari sudut pandang korban pem-bully-an. Tapi siapapun bisa menjadi pelaku dan korban. Seperti cerita yang saya bubuhkan dalam lembar cerpen ini, diambil dari kisah nyata. Seorang anak kecil kelas 4 SD. Dia menjadi salah satu bukti bahwa pem-bully-an kepada anak-anak ada di sekitar kita.
Bagaimana dulunya dia di-bully oleh teman-teman sejak Sekolah Dasar. Dia mendapat perlakuan yang harusnya tidak dia dapatkan. Ya, perlakuan berbeda dari siswa mayoritas di sekolahnya.
Dia adalah murid pindahan dari kota lain. Saat kelas 4 SD petaka itu dimulai. Dia mendapatkan perlakuan buruk dari teman-temannya. Mencoba bertahan, tak membalas, sehingga berlahan sifat keceriaan anak-anak yang terkenal ceria surut. Dia murung sampai kelas 6, dan hingga lulus.
Dia berharap jika di bangku SMP mendapatkan kedamaian. Tapi nyatanya, karakternya yang murung sulit dibuang karena sudah tertanam dikala SD. Dia tetap mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan di bangku SMP. Mirisnya, pelaku pem-bully-an itu dilakukan oleh guru-gurunya. Guru yang seharusnya menjadi teladan bahkan berubah menjadi setan dalam benaknya.
Memang sih, ada korban bully yang memiliki mental tangguh dan ingin menunjukkan bahwa ia tidak seperti apa yang dikatakan teman-temannya. Sayangnya, ada juga korban yang tidak bisa menerima keadaan, menderita depresi, sebagaimana kisah yang saya angkat menjadi cerpen tersebut. Untungnya si tokoh utama (korban bully) tidak memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Sebagaimana kita pernah dengar dari warta di media sosial atau elektronik.
Kisah si tokoh dalam cerpen tersebut saya ambil di tahun 2006 ke bawah, dimana anak-anak di zaman tersebut masih ‘manut’ dan lebih menyimpan masalah dibanding harus menyeritakan kepada orang tua atau orang-orang terdekatnya.
0 Comment:
Posting Komentar