November 28, 2020

Puisiku yang Meninggal Dunia
Puisi-sapardi-djoko-damono-puisi-fenomenal-puisi-terbaik-saad-pamungkas-media-pamungkas
“Tulisan ini aneh. Enggak ada artinya!” 

Itulah tanggapan seseorang menilai puisi saya.

Padahal waktu itu kalau boleh dibilang saya menulis puisi dengan jiwa terbang bebas di atas permukaan pantai, melenggak-lenggok di lekuk pegunungan, bertengger dari hijau ke hijau lainnya, menembusi kapas-kapas di langit, njebur berenang dalam lautan bening. Ya, seperti burung. Kemudian jadi ikan. Kemudian burung lagi. Ikan lagi. Burung lagi. Bebas. 

Waktu itu ditahun 2010. Saya sebut sebagai tahun ‘sendirian di dunia literasi’ atau sebatas berkarya dan diaplaus sendiri. Seakan tak ada orang yang bisa mengerti tulisan saya. Ditambah lagi, saya asing dan malu-malu dengan orang-orang akademis literasi di sekitar saya. Saya semakin bertabir rapat. Saya mulai bertanya-tanya apakah saya bisa menjadi penulis? Ah, bukan penulis, penyusun kata tepatnya. Sangking mindernya, seperti itulah gambaran saya dulu di dunia literasi. 

“Tulisan ini aneh. Enggak ada artinya! Kamu kan anak teknik, Ad?”

Ya. Memang, seorang Saad Pamungkas dulunya sekolah di jurusan teknik. Bukan jurusan sastra atau linguistik sejenisnya. Tapi saya telah berusaha mencari ruh dibidang teknik. Anehnya, menulis adalah sebuah panggilan hati. Saat pen di tangan, intuisi langsung bermain. Sayangnya, dulu saya tidak bisa menjawab perkataan pedas dan beracun itu. Kenapa saya katakan beracun? Ya, karena memberangus kepercayaan seseorang dalam berkarya. 
Di tahun itu pula puisi saya tutup usia gara-gara overdosis akan keragu-raguan.
Kasus masa silam saya ini terjadi karena mungkin kurangnya rasa apresiasi yang diterapkan sejak dini. Dari orang satu ke orang lainnya, secara inti sama-sama berkomentar negatif. Padahal saya merasa puisi saya sudah seperti Sapardis (istilah rekaan saya waktu itu yang artinya beraliran Sapardi Djoko Damono). Silahkan tertawa sejenak khusus di paragraf ini. 

Tulisan ini wujud berawal dari Farmeita, seorang anggota The Jannah Institute (TJI) kemarin malam (Jumat, 27 November 2020) yang menceritakan pengalaman proses menulis puisi. Saya merasa nasibnya sama dengan saya dimasa lampau. Begini kutipan kata beliau di grup besutan Mbak Prita HW tersebut: 

Menulis puisi bukan hal yang sulit sebenarnya, asalkan kita tidak pernah membuat sebuah tolok ukur. Pernyataan ini saya dapatkan dari Pak Sapardi. Seringkali puisi menjadi hal yang baku, karena banyaknya standarisasi yang harus dicapai. 

Saya mengalami hal ini ketika menjadi kandidat FLS2N tingkat kabupaten. Saya merasa aturan-aturan dalam penulisan membuat seseorang menjadi terbatas. Tidak bisa dengan bebas menuliskan apa yang sedang ia alami. Padahal, menurut saya puisi adalah tulisan yang mengekspresikan diri kita, bagaimanapun bentuknya. Entah tidak sesuai rima-nya, barisnya sedikit, diksinya terlalu rumit, dan lain sebagainya. 

Pemahaman seperti inilah yang seringkali bertentangan dengan pendapat seseorang. Alhasil, saya seringkali mendapat suatu komentar seperti: 

"Nulis apaan sih ga ngerti."

"Ciee lagi galau yaa."

"Ciyee lagi jatuh cinta yaa."

"Ciyee lagi patah hati yaa."



Begitulah kisah awal mula Farmeita memulai menulis puisi. Bernasib sama dengan saya. 

Balik lagi ke kisah awal mula saya menulis puisi sekaligus berkabung atas meninggalnya puisi saya. Banyak hal lagi di luar tanggapan negatif itu yang tidak dapat saya ceritakan karena panjang sekali. Namun seharusnya kita sebagai orang berpendidikan dapat mengetahui karya seni itu mahal dan ada makna tersendiri didalamnya. Para penulis prosa punya jiwa yang bersayap untuk menghasilkan karya, walaupun tidak butuh sampai berjam-jam menghasilkan karya, tapi jangan Anda remehkan dengan menyayat sayap itu dengan bibir tajam Anda. 

Bagi Anda yang sedang membaca tulisan ini dan bernasib sama. Sekarang mulailah bangkit. Kita hanya perlu beralih tempat untuk dihargai dengan benar. Sebab ketika kita menghampiri orang yang awam akan bidangnya, maka jangan pernah kita menyalahkan diri sendiri lalu marah karena tidak ada yang menghargai karya kita. Karena bagi mereka yang paham nilai kita, akan selalu menghargai kita. Maka jangan pernah bergaul di tempat yang salah.

Gemar menulis dan membaca dua aktivitas ini yang menjadi kendaraan saya menjadi penulis, untuk menambah kenalan di Tanah Air maupun luar negeri, yang punya passion sama dibidang literasi.

2 Comment:

  1. Tulisan tentang puisi tanpa sepotong puisipun?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe. Ada Kung di tulisan saya selanjutnya. Di ttps://www.mediapamungkas.com/2020/11/puisi-saad.html

      Atau buka saja bab selanjutnya.

      Terima kasih banyak Kung telah mampir, Kung inspirasi saya.

      Hapus

Contact

Kirim saya Email

Hubungi

ContactInfo

Secara etimologis, kata literasi (literacy)berasal dari bahasa Latin “literatus” yang artinya adalah orang yang belajar. Literasi erat hubungannya dengan proses membaca dan menulis. Namun, seiring berjalannya zaman, literasi mengalami perkembangan definisi yang baru, diantaranyaliterasi sains,literasi digital,literasi numerasi, literasi finansial, literasi budaya dan kewargaan. Khusus di website ini, membahas tentang literasi baca dan tulis atau manfaat berjejak hidup lewat kata.

Alamat:

Jln. Sunan Bonang No. 42A, Jember.

Phone:

+62 812 3254 8422

Email:

admin@mediapamungkas.com