Saya tinggal tidak jauh dari jantung Kota Jember. Kira-kira hanya beberapa menit, mungkin 5 atau 10 menit saja untuk sampai di Kantor Pemda atau alun-alun Kota.
Kota Jember tak seramai tahun kemarin, 2019. Apalagi, kota di ujung timur Pulau Jawa ini pasti sibuk dibulan Agustus. Berbanding terbalik pada tahun 2020, amat kontras dengan tahun kemarin. Apalagi Kota ini sudah tersemat dengan sebutan kota Karnaval, yang dikenal dengan JFC (Jember Fashion Carnaval) yang mesti tampil dengan kemeriahannya dibulan delapan. Jika sudah waktunya JFC grand show (peserta tampil all out dengan busana hebat) pasti banyak pengunjung dari dalam dan luar kota, bahkan turis-turis dan artis tanah air juga tak ketinggalan meramaikan. Lengkap dengan bawaan mereka berupa gadget atau tustel untuk mengabadikan festival tersebut. Bulan delapan ditahun 2020 seakan daun jatuh pun tak berbunyi, sepi. Kota kecil ini tak punya lagi semarak khas Kota Suwar-Suwir. Corona atau Covid-19 sukses membuat kota ini bisu, sebagaimana kota-kota lainnya.
Bagi saya—dan semua orang tentunya—ini fenomena baru atas kesunyian yang melanda kota ini. Seumur hidup saya baru mengalaminya. Jika Covid-19 adalah sesuatu yang baru yang harus kita hindari darinya, dengan cara menjaga kebersihan dan pola hidup yang sehat, sebenarnya ada kejadian yang dianggap biasa atau bahkan tak masuk dalam kategori fenomena yang mengerikan. Padahal hal ini bisa memberikan dampak terbesar untuk kemajuan bangsa, tapi justru disepelekan. Bahkan kita tak mencari solusi bagaimana caranya menghadapinya. Apakah itu?
Jawabannya adalah rendahnya minat baca.
Penelitian yang dilakukan oleh lembaga Central Connecticut State University 2016 memaparkan bahwa literasi di Indonesia, di negeri dengan penduduk ratusan juta jiwa, masih minim. Indonesia berada di tingkat kedua terbawah dari 61 negara.
Riset mandiri yang saya lakukan pertama adalah berkunjung di Perpusda (Perpustakaan Daerah) Jember. Sebenarnya tak ada niat untuk melakukan telaah ini. Pengalaman yang panjang, berujung observasi. Sederhananya seperti itu.
Saya pernah berkunjung beberapa kali ke perpustakaan pemerintah Jember, sekitar tahun 2014 sampai 2018. Awal mula masuk, saya harus mengisi buku kunjungan. Prosedur yang berlaku seperti itu. Dibuku tersebut, nama saya tertulis di posisi ke-3. Berulang-ulang berkunjung posisi tak sampai jauh keluar dari angka 10. Waktu kunjungan saya sekitar jam 2 kadang sore hari.
Pernah juga nama di buku kunjungan keluar dari angka 10, kala itu ada anak-anak berseragam, seperti dari sebuah sekolah SMA. Pernah juga datang sekumpulan anak muda beralmamater. Mereka dari suatu kampus. Anak-anak SMA berkunjung ke perpustakaan daerah sebagian ada yang membaca buku, sebagian lagi ngobrol, sebagian lagi memijat-mijat gadget mereka. Tidak rata kegiatannya. Begitu juga dengan remaja-remaja kampus dengan almamaternya.
Dari pengalaman di atas, pengaruh terhadap orang untuk datang di perpustakaan belum signifikan atau grafik pengunjung relatif sedikit.
Mari saya ajak untuk mundur disepuluh tahun sebelum kedatangan Covid-19, 2010, bisa dibilang ini puncak saya serius menyelami dunia literasi. Saya sendiri menekuni baca-tulis mulai bangku SMP, tahun 2006, ketika itu Harry Potter menjadi pembicaraan utama dari semua kalangan. Banyak orang yang sudah memiliki atau pun ingin sekali punya buku tebal tersebut. Saya membaca karya JK. Rowling juga membuktikan bahwa kekuatan diskripsi dalam karyanya sungguh memukau, seakan nyata, detail, dan hebat. Sehingga memunculkan hasrat untuk membaca sampai akhir cerita. Kemuncanya saya menyodorkan kartu pelajar ke pustakawan sebagai persyaratan meminjam novel Harry Potter.
Lompat lagi di tahun 2010, saya mencari-cari wadah kepenulisan yang berada di Jember ini. Agak kesulitan. Karena wadah kepenulisan ditahun itu rupanya sebatas pertemuan virtual atau lewat platform facebook saja. Informasi group kepenulisan ini saya dapatkan dari internet, mencari informasinya.
Jadi tak ada forum yang datang secara tatap muka melakukan pertemuan untuk saling sharing ilmu kepenulisan (mohon maaf apabila informasi yang saya dapatkan salah). Sebab saya berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mencarinya. Dengan mencarinya via google map. Meski tergolong mudah mencarinya, karena di Jalan Jawa, daerah Kampus Unej. Barangkali akan terlihat plang atau papan nama. Setelah tak menemukan, saya meng-inbox admin facebook forum bersangkutan. Beberapa hari kemudian, jawaban admin singkat, “Kami sudah tutup, Kak.”
Masih tahun yang sama, 2010, justru saya bisa bergabung dengan FLP (Forum Lingkar Pena) yang dirintis oleh Helvi Tiana Rosa, ketika saya merantau di Malaysia lewat sekretaris FLP (saya lupa namanya) yang saya temui di Hentian Kajang. Setelah sebelumnya mengatur janji, waktu dan tempat. Kala itu yang menjabat jadi ketua FLP cabang di Malaysia adalah Pak Alwi Alattas. Semoga beliau selalu sehat dan panjang umur. Namun sayangnya, kendala saya tidak ada kendaraan untuk menghadiri seminar atau class writing yang diadakan FLP.
Kembali ke Jember, dari tahun 2010 hingga 2014 (2014 saya pulang ke tanah air) saya search perkumpulan atau komunitas kepenulisan di Jember. Ada respon dari personal, ia mengatakan bahwa komunitas kepenulisan itu masih bersifat fleksibel. Artinya lentur tak terikat oleh komunitas atau pun group. Pisah-pisah. Belum ada tokoh kepenulisan yang benar-benar muncul di permukaan.
Mari, diringkas saja tulisan saya ini. Saya ambil kepada kisah-kisah yang menarik saja yang terkait dengan literasi.
Hingga pada tahun 2017, saya membuat buku kumpulan cerpen, berjudul “Hilang Setengah”. Saya menganggap bacaan ini adalah bacaan yang relatif ringan, karena pendek atau tak terjalin ikatan cerita yang panjang. Buku ini saya bawa dan saya ikut nimbrung di komunitas (maaf tak saya sebutkan di sini). Komunitas saya anggap sebagai miniatur masyarakat, disana kita bisa menemukan berbagai macam orang. Tapi sayangnya bukan komunitas kepenulisan atau literasi. Tapi, apa salahnya. Setidaknya bisa memberi secercah pengetahuan mengenai literasi baca-tulis. Toh, saya sudah mencari komunitas kepenulisan juga susah. Di sana saya memperkenalkan diri nama dan segala macam mengenai saya. Termasuk hobby atau passion saya: pengarang atau penulis.
Saya tunjukkan karya cerpen saya kepada banyak anggota komunitas tersebut. Mereka memberi aplaus kepada saya. Meminta buku saya untuk dilihat dengan seksama dari dekat. Ingat, hanya dilihat. Bukan dibaca. Indikasi itu bisa dilihat dari pengamatan bahwa menikmati sebuah bacaan itu tak ada yang kurang dari satu menit, kemudian ditutup.
Setelah itu salah satu diantara mereka ingin cerita hidupnya dibuat buku juga. Saya nilai itu i’tikad baik dan bagus. Tapi sayangnya saya yang disuruh untuk menuliskannya. Bukan dia sendiri yang menulis. Saya menolak kalau saya yang menulis, meski dia bilang punya cerita yang menarik untuk dibuatkan buku. “Buh, saya ndak bisa kalau menulis, Mas Saad,” katanya, pesimis ketika saya suruh untuk menulis tanpa harus bagus terlebih dahulu. Baik, jangan salah paham, ya, bukan berarti saya tak ringan tangan sebagai penulis membantunya menulis. Bukan! Minimal saya masih mau membantu menjadi editornya. Nanti saya akan tulis di bab lain mengenai “mudahnya menulis, dan sulitnya menulis.”
Pernah juga saya bergabung di komunitas lain, lagi-lagi bukan komunitas kepenulisan. Akan tetapi komunitas sosial. Setidaknya saya telah datang membawa gagasan bahwa komunitas sosial bisa tetap bersifat sosial, meski literasi yang saya usung sebagai tema, saya memberi ide untuk dibuatkan devisi literasi di komunitas itu. Intinya saya bisa terjun ke masyarakat dengan membawa nama komunitas itu untuk menyebarkan pentingnya literasi (tulis-baca) di masyarakat. Ide saya ditolak, mereka tetap mengusung tema bersosialkemasyarakatan dengan membantu dari segi ekonomi (sumbangan berupa beras, pemasangan listrik dan lain-lain). Mereka menganggap baca-tulis tidaklah begitu penting dibanding urusan perut. Benar juga sih (jika mengiyakan pandangan sesempit itu).
Buku kumpulan cerpen itu pernah dipinjam lama seorang teman. Berbulan-bulan tak dikembalikan. Saya sendiri hampir lupa. Pada suatu kesempatan, saya ingat buku itu.
“Gimana udah habis belum bacanya?” tanya saya.
“Belum bro.”
“Cerpen mana yang kamu sukai?”
“Aku belum baca sama sekali!” serunya, sambil ketawa.
Mari saya ajak lagi untuk lompat ke kisah lainnya. Di lain tahun.
Pada tahun 2019, November, untuk pertama kalinya saya berkenalan dengan Kung Iman Suligi, founder Kampoeng Batja, sebuah TBM (Taman Bacaan Masyarakat). Di sana, luar biasa, luas, lega dan bacaannya begitu banyak pilihan genre. Tempatnya asyik sekali. Sehingga grundel dalam hati, “Kenapa enggak mulai dulu aku kenal tempat ajaib seperti ini!” apalagi, dari keterangan Kung Iman Suligi TBM yang didirikannya itu terbentuk tahun 2009. Akan tetapi benih Kampoeng Batja sudah ada sejak tahun 1990-an. Namun masih berganti-ganti nama. Artinya 10 tahun saya ‘buta’ akan tempat hebat yang didirikan Kung Iman ini. Setelah tahu, bisa dibilang saya sering berkunjung di Kampoeng Batja ini. Saya berguru dengan Kung Iman mengenai dunia kepenulisan. Beliau juga kerap sekali mengadakan program membuat puisi lewat facebook.
Saya hampir setiap hari berkunjung ke Kampoeng Batja. Sampai cucu-cucu kung bisa menebak, “namanya Saad, ya?” sambil senyum-senyum. Pastinya cucu-cucunya Kung sudah menyibak buku tamu. Awalnya saya kira mungkin pengunjung melewatkan buku kunjungan tersebut, langsung masuk begitu saja. Tapi, tulisan “Harap Isi Buku Kunjungan” sebagai tanda sudah jelas terpampang ketika awal masuk. Saya memutuskan sekalian menjadi relawan di sana selama berbulan-bulan, setiap hari datang, hari minggu libur. Pengunjung di Kampoeng Batja tak menunjukkan jumlah yang begitu signifikan. Apalagi ditambah kedatangan corona ini.
Banyak kisah yang sebenarnya belum tertuang di sini mengenai tengara bahwa Jember masih kurang minat baca-tulis. Harus ada peran ‘tangan besar’, yakni pemerintah. Mengkampanyekan gerak literasi ini. Atau gerak yang benar-benar gerak!
Gerak nyata!
Gerak yang bisa dilihat!
Bukan gerak bibir!
Kira-kira apa yang harus dilakukan Pemerintah Jember dalam mendongkrak minat baca di Kota Karnaval ini? Apalagi dengan majunya zaman yang berimbas terhadap perubahan gaya hidup. Kita sering melihat pelajar, mahasiswa, bahkan anak-anak yang lebih suka menghabiskan waktu bersama gadget. Mereka tak lagi menyentuh buku sebagai teman di kala senggang.
Tunggu tulisan saya berikutnya.
0 Comment:
Posting Komentar