Awal berkarier sebagai penulis bayangan, atau istilah kerennya dikenal juga dengan ghostwriter, saya sudah mengalami trauma berat. Ini tidak lain kecerobohan saya sendiri. Semoga tulisan saya ini menjadi pelajaran atau petunjuk bagi pembaca yang ingin menjadi ghostwriter.
Sebelum saya berkisah mengenai trauma saya (maaf jika ada unsur tidak penting) alangkah baiknya kita mulai dari pengertian, tarif, dan sistem kerja sebagai ghostwriter. Ini semua saya dapatkan dari pengalalaman pribadi, tanpa menukil dari wikipedia atau apa pun di mesin pencarian.
Secara pribadi, pengertian dari ghostwriter adalah seseorang penulis yang rela menulis karya tulis dengan genre yang ditentukan oleh klien (selaku pembeli kekayaan intelektual penulis), tanpa ada upaya kedepannya mengklaim karyanya tersebut karena sudah dibeli. Dengan catatan ada perjanjian tertulis atau pun perjanjian dalam bentuk lain.
Sekedar saran, akan lebih profesional dan dependen yang tertulis disertakan juga tanda tangan dari kedua belah pihak.
Untuk tarif seorang ghostwriter sendiri tidak ada standar secara nasional ataupun global. Semua yang bersangkutan dengan tulisan berada di balik layar yang gelap, terselubung, dan rahasia. Tapi, setahu saya tarif bisa bermacam-macam memandang profil klien.
Karena dunia ghostwriter adalah dunia tirai. Tirainya bisa rapat, bisa terbuka akan tetapi tidak lebar. Bisa juga disibak sewaktu-waktu, tapi harus izin terlebih dahulu, maka saya cari aman saja. Sebutlah ‘beliau’. Kata ‘beliau’ lebih pantas untuk samaran seseorang yang terhormat dan berpengalaman. Beliau di kesempatan waktu menerangkan lewat whatsApp bahwa tarif ghostwriter itu bermacam-macam. Untuk penulisan biografi secara profesional, start-nya di angka 5 juta ke atas. Dari beberapa link yang beliau dapatkan, teman ghostwriter-nya untuk genre penulisan biografi, rate-nya 20-40 juta sekali menulis. Beliau juga menyebutkan bahwa temannya ini mantan editor Majalah Wanita Femina. Teman beliau yang lain lagi, yang pemula, pernah mendapatkan 9 juta untuk biografi seorang dosen.
Mengenai sistem kerja ghostwriter itu menyesuaikan permintaan klien. Bahkan ghostwriter yang profesional akan berusaha menjaga kenyamanan kliennya. Harus ada pengertian. Harus ada hati. Karena jika tidak ada unsur ini, ghostwriter itu seperti hantu yang meneror si klien, seperti menanyakan dengan kerap kapan ada waktu luang wawancara, sehingga kesannya malah mengintimidasi. Harus perhatian dan bisa menyimpulkan karakter klien. Jika tetangga, kerabat, teman-temannya lebih enak ditanya-tanya, maka hal itu jadi opsi. Meski begitu, harus ada batasan tertentu dan spekulasi nalar. Ujung-ujungnya tetap memberi tahu klien data-data yang didapatkan mengenai dirinya dari mana, tujuannya untuk menjaga hubungan baik dengan mencegah terlebih dahulu kesalahpahaman.
Nah, kini masuk ke kisah kecerobohan saya yang membuat saya trauma berat. Semoga menjadi gambaran pembaca apabila hendak melangkah mengikuti langkah ghostwriter.
Kala itu, tahun 2019, ketika Covid-19 masih belum mengacaukan dunia. Bulan Ramadhan, bulan yang suci, saya start kerja dengan proyek yang menurut saya besar. Bersama penerbit yang tak akan saya sebutkan di sini, dan sampai berakhirnya tulisan ini. Kenapa? Menjengkelkan.
Proyek yang saya tengarai besar itu dapat ditilik dari kedatangan seorang tokoh yang dikenal dengan ketajirannya. Tokoh ini datang dengan membawa mobil putih besar. Sebelum masuk ke kantor penerbitan saya kerja, didahului seseorang turun dari mobil dengan gesture badan yang tegap dan waspada. Saya menduganya seorang bodyguard, apalagi ketika si tokoh tajir ini turun, bodyguard sigap menaungi dengan mata awas, kemudian matanya mulai berpencaran ke segala penjuru.
Orang tajir ini mungkin tidak akan saya kenal jika tidak bukan karena seorang teman ngobrol dengan saya sewaktu di warkop. Obrolannya ngalor-ngidul. Teman saya mencurahkan segala kesulitan hidupnya kepada saya, utamanya dari segi ekonomi. Sepertinya kesulitan ekonomi adalah suatu hal yang umum yang paling menjadikan kepala panas. Hingga dia muncul ide, dengan beradu nasib dengan salah satu orang kaya disebuah kota, mungkin dengan begitu ekonominya bisa meningkat dengan bantuan orang kaya. Teman saya menyebutkan tokoh tajir ini. Ya, tokoh yang kala itu datang di petang hari di kantor penerbitan.
Terjadi perbincangan dengan pihak penerbit. Sebenarnya pihak penerbit cuma terdiri dari satu orang. Maklum, sebutlah kota A, di kota A penerbit dengan status Perseroan Terbatas masih belum ada. Yang ada penerbit dengan status Commanditaire Vennootschap (CV) atau Persekutuan Komanditer. Sebutlah penerbit indie atau penerbit kecil. Mereka mengendap di sepinya literasi di kota A.
Selanjutnya, pihak penerbit saya samarkan saja sebutan ini menjadi penifu (dengan aksen Sunda). Karena kata ‘pihak penerbit’ saya sejajarkan dengan pahlawan literasi, ia hero pembunuh sepi, dan meramaikan dunia perbukuan.
Perbincangan itu menggema-gema dalam ruangan yang masih sedikit perabot. Jadi, tidak ada hal yang rahasia antara pembicaraan mereka berdua. Saya waktu itu sedang mengerjakan tugas membuat artikel suatu tema dengan ketentuan yang sudah dipatenkan oleh penerbit bersangkutan.
Proyek orang tajir itu adalah proyek yang menurut saya mega proyek. Kenapa? Simak saja cuplikan perbincangan di bawah ini.
“Saya ingin buku tersebut digarap all out dengan keterampilan sampean. Saya percaya dengan track record perjalanan sampean sebagai penulis. Karya-karya sampean saya acungi jempol. Kenapa saya menyuruh sampean all out? Karena ini mengenai tokoh yang besar!” begitulah, esensi pembicaraan tersebut.
“Jadi berapa tarif yang harus saya keluarkan untuk sampean?” tanya orang tajir tersebut. Si penifu tersenyum, dengan kepala agak senget, nampaknya menimbang-nimbang.
“Sebutkan saja, saya berani bayar mahal
sampean!” kejar orang tajir tersebut.
“Nanti saja, kalau sudah selesai penggarapan buku itu,” jawab si penifu.
Waw! Seru saya dalam hati. Yang ditulis adalah orang yang terkenal setingkat nasional, Ibu Pertiwi pasti mengenalnya. Sehingga pada malam Ramadhan itu, saya semakin semangat menyongsong masa depan, lebih tepatnya menjemput hari raya dengan suka cita. Saya menyangka bahwa bakal kecipratan fulus yang banyak. Rupanya salah. Tapi dari tragedi di jalan literasi itu saya mendapat iktibar bahwa tipu daya itu bisa muncul dari penyair bijak atau pemilik quotes sekalipun.
“Ad, ingat, jika kamu kerja, maka kerjalah dengan sungguh-sungguh. Sebab, jika kamu main-main, sementara istrimu sungguh-sungguh mendoakanmu, maka kamu bisa jungkel” inilah motivasi dari si penifu.
Dari motivasi itu saya terdorong keras dalam bekerja. Setiap hari mulai dari siang hingga pagi, mulai dari berbuka puasa, hingga sahur dan lanjut sholat subuh. Ketika mentari sudah mengintip, saya mulai tidur. Bangun tidur sekitar jam 10 dan 11 siang.
Ada rasa capai hinggap. Mata lelah. Mata kadang rabun sementara. Diantara suara tadarus di masjid, saya tegak lagi ketika ingat istri dan anak. Kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan saya juga. Mendapatkan angin segar dari proyek besar ini sungguh menggembirakan. Baju baru, angpau buat mertua, keponakan, ah…minimal bisa pegang uang banyak dulu lah.
Sebelum 5H lebaran. Proyek menulis untuk tokoh terkenal tingkat nasional rampung. Ini mejadi sejarah buat saya. Lembaran terbanyak yang pernah saya garap 400 halaman dan waktu tercepat pengerjaan proyek menulis dengan halaman terbanyak. 400 halaman belum ditambah kata sambutan tokoh-tokoh yang akan mengisi halaman awal buku. Sayangnya, sejarah itu sekaligus pahit.
Penifu menyodorkan amplop. Hati riang.
Ketika dalam jemari, saya bingung, ini amplop kenapa tipis. Jika isinya cek, juga terlalu tebal. Karena penasaran yang akut seketika, kubuka amplop itu. Ada 6 lembar uang merah. Ya, Rp 600.000 (enam ratus ribu rupiah) saja. Ada retak di hati. Tapi segera saya tambal, mungkin nanti ada lembaran uang yang menyusul.
Ketika 2H lebaran. Saya sudah berstatus musafir. Di tengah perjalanan pulang kampung ke kampung istri, Trenggalek, sejauh 300 kilo meter. Saya terus positif thinking, mungkin nanti ada lembaran uang yang menyusul. Saya tak akan mendeskripsikan bagaimana keadaan saya dengan uang enam ratus ribu rupiah di kampung halaman istri. Saya sensor. Menyedihkan.
Tapi nyatanya?
Nyatanya saya tersenyum getir saat penifu tersenyum sumringah di atas panggung dengan dekor yang mewah, berupa layar dengan gambar sosok terkenal se-Indonesia yang dia (dan saya) garap itu. Pyro fountain membuat panggung gemerlap saat menyambut penifu naik panggung. Ada rasa bangga, karena tulisan saya diapresiasi oleh orang-orang hebat. Tapi, tunggu dulu. Tulisan saya? Saya terus menonton euforia kebahagiaan penifu di atas panggung lewat instagram. Kebahagiaan itu harus banyak orang yang tahu.
Lama saya menunggu si penifu ini menerbangkan lembaran uangnya ke saya. Penantian panjang itu akhirnya membuat saya bertindak dengan meneleponnya. Setelah memulai dari obrolan tetek bengek yang saya buat seramah mungkin, menanyai kabarnya dan segala macam lewat telepon.
“Ad, aku inget kok sama kamu. Tenang saja, uang bagianmu akan kuberikan kepadamu!” jawab si penifu. Dia berkata seperti itu ketika lebaran sudah habis, Syawal berlalu berganti Dzulqo’dah. Hanphone masih dalam genggaman tangan, dengan geram hati saya katakan bahwa dia lebih pantas jadi penulis tanpa harus bekerja sama dengan orang lain, akan tetapi uang tak akan berkah dengan jalan memanfaatkan orang lain. Saya terus saja berbicara seperti truk yang remnya blong, tak memberi kesempatan penifu berbicara. Apakah saya salah berbuat seperti ini? Tentu saja salah! Tak memberikan lawan bicara ngomong. Kesabaran saya tak bisa direm lagi.
Bayangkan saja, ketika saya menjadi penulis freelance (bukan kerja dibawah penifu), uang yang saya dapatkan sekitar 2 juta-an per-buku. Ketika saya bekerja dengan si penifu, saya telah menghasilkan 2 judul buku, setidaknya saya pulang kampung harusnya memegang 4 juta-an. Lah, ini malah 600.000?
Setelah saya meluapkan emosi. Selang beberapa hari, instagram penifu saya dapati status foto yang menunjukkan sebuah ruangan kerja baru, dengan dekorasi yang komplit nan ciamik. Yang jelas lebih terlihat hebat dibanding ketika saya masih kerja di tempatnya. Pahit rasanya. Tapi, ketahuilah, ini bukan iri. Tapi meluruskan apa yang bengkok. Maka saya putuskan untuk meng-unfollow dirinya. Dia sedang bahagia, bahagia atas istidraj yang menimpanya itu.
Lalu, kecerobohan saya ada dimana pembaca budiman?
Kecerobohan saya adalah tidak ada perjanjian di atas kertas. Itu kesalah fatal saya.
Jadilah
ghostwriter dengan bijak.
Mohon maaf sekiranya ada kata-kata menyinggung pihak mana pun. Saya sudah berusaha mensensor. Saya menulis sepanjang ini, agar penulis pemula yang mengambil jalur ghostwriter tidak senasib dengan saya. Semoga beruntung.
Mari bersikap baik di dunia literasi. Semangat!
Don't be a ghostwriter, unless you get paid enough for five years. Because giving birth and the result of the birth is given to someone else it hurts — Saad Pamungkas.
0 Comment:
Posting Komentar