November 11, 2020

Berliterasi dengan Anak-Anak (hari ke-1)
Berliterasi-dengan-anak--anak
“Kebiasaan di waktu kecilku membentuk kebiasaan yang akan terus terbawa hingga dewasa bahkan sampai berstatus “kung” begini. Sedari kecil akrab dengan jutaan kata, dimulai dari koran, majalah kemudian merambah ke buku-buku umum dan bacaan lainnya. Di tahun dua puluh-dua puluh ini, kini usiaku 70 tahun, masih tetap membawa kebiasaan sewaktu kecil tersebut. Bedanya dulu bahan bacaan tersebut dimiliki bapak, dan sekarang aku mengekori beliau, hanya saja aku bukan agen koran.” 
Kalimat di atas saya kutip dari buku biografi “Koeng, Meniti Jalan Literasi”, di halaman 62. Sebuah biografi dari Kung Iman Suligi, tokoh seniman Jember, founder Kampoeng Batja. Berangkat dari kata Kung Iman dan memang sudah lama saya memerhatikan kebiasaan anak kecil pada zaman ini tidak dibiasakan membaca dan menulis sejak kecil, maka terbetik ide menyebarkan ilmu literasi baca-tulis-cipta karya di dunia mereka. Agar virus membaca—minimal—tertanam terlebih dahulu lewat wawasan yang bisa dimengerti oleh mereka. Maka dari itu, saya bersama tim mengadakan aksi tebar benih suka baca-tulis. Tim saya terdiri dari tiga orang, terbentuk tanpa perundingan. Terbentuk begitu saja. 

buku biografi literasi jember
Buku yang sangat menginspirasi saya.
Singkat cerita, pada petang hari. Kami berhasil mengumpulkan 7 orang anak. Kami mengundang mereka dengan perkenalan terlebih dahulu. Melemparkan pertanyaan, "apakah ada yang di rumah terbiasa membaca buku setiap hari dan buku bacaan apa yang menjadi favorit mereka sebagai bahan bacaan?" Jawabannya, seperti yang saya duga, mereka memutar bola mata, berpikir, kemudian tersenyum malu. Tidak ada kegiatan membaca buku di rumah, yang ada menonton TV, atau bermain game, “saya suka main mobile legend!” seru satu orang anak. Tanpa saya tanya menyebutkan banyak nama game dan acara TV favorit. Mereka lancar semua menyebutkannya dan memberi alasannya menggemarinya. 

Begitulah, anak-anak sudah menjawab dengan jujur dan apa adanya. Mereka bagai kertas putih yang kosong tidak ada sedikitpun noda. Lingkungan keluarga, teman dan kitalah yang membentuk kebiasaan mereka. Kalau kita—sebagai orang dewasa—setiap hari menonton TV, dan berasyik-asyik dengan game, anak-anak pastilah meniru kita. Jadi baik atau buruknya atau hitam atau putih itu berada di mata mereka. 

Anak--anak-sedang-menyimak-kelas-menulis-saya
Semua serius memperhatikan.

Dari sini, saya mengetahui bahwa orang tua mereka—maaf—terlalu cuai akan pentingnya membaca buku dan bahayanya terbiasa memegang HP. Pada akhirnya, anak zaman milenial ini lebih memilih aktivitas yang mengasyikkan yang lagi-lagi fasilitas itu bisa didapatkan dari HP. Diantaranya menonton video dan bermain game. Dua aktivitas ini yang mendominasi hiburan anak-anak era modern ini. 

Padahal pendidikan pertama membina karakter anak itu dimulai dari keluarga mereka. Bukan dari guru TK, dan SD. Sebagaimana Kung Iman katakan pada buku biografinya, halaman 63 bahwa pendidikan dasar yang diterima anak adalah dari lingkungan keluarga, sudah menjadi tanggung jawab orang tua untuk merangsang minat baca kepada anak-anaknya sedini mungkin. 

Saya tergerak untuk mengadakan kegiatan yang mengikat mereka, tentu saja dengan cita rasa anak-anak. “Saya harap yang hadir di sini, nanti ke depan punya karya tulis sendiri berupa buku. Kan, keren! Makanya, semangat ya!” begitu motivasi saya. Ringan, agar tak terkesan terlalu formal bagi mereka. 

Pada hari pertama buka class writing yang dihadiri 7 anak, saya mengawali dengan guyonan terlebih dahulu. "Siapa tadi yang melagukan nama saya, 'Saad diriku jauh darimu' hayo, siapa?" akhirnya pelakunya mengacungkan jari, tertunduk, sambil menahan tawa. 

“Kamu hebat, sudah ada kemampuan mengembangkan karangan lewat lagu!” puji saya. Yang dipuji tergoncang badannya karena ketawanya, sambil malu-malu. Sementara anak-anak yang lain menyorakinya. 

Itu pembuka class, sehingga kesan pertama yang anak-anak dapat bahwa saya tidaklah serius seperti yang kelihatannya. Selanjutnya melemparkan pertanyaan kepada mereka siapa yang suka menulis. Saya terkesima saat ada yang mengangkat tangan, meski cuma satu diantara 7 anak. Tapi menurut saya hal itu hebat. Kenapa? Padahal anak-anak yang datang itu kami pilih secara acak, atau tidak tahu kegemaran mereka apa. Satu diantara tujuh anak, itu hal yang luar biasa. Memandang UNESCO menyatakan bahwa diantara 1.000 (seribu) orang Indonesia, hanya satu orang diantaranya yang gemar membaca dan menulis. Satu anak diantara tujuh anak sebuah asa yang terang di masa depan. 

Selebihnya saya pakai metode improvisasi (metode ini yang bikin mata muter-muter, mikir). Salah satunya adalah memberi tahu mereka bahwa kita adalah makhluk yang dibekali dengan otak untuk berpikir oleh Tuhan. Otak itu ajaib, bisa mengasosiasikan sesuatu yang tidak nyambung, menjadi nyambung. "kalian enggak percaya?" tanya saya. Setelah itu saya tantang mereka dengan menyebutkan tiga kata acak yang tak nyambung. Apa pun itu. Saya ambil kata yang paling cepat terlontar dari mereka, diantaranya kata:

kucing, daun, pelangi

Proses-menggabungkan-kata--kata-yang-tidak-menyambung-sama-sekali
Wajah penasaran yang menanti proses pembentukan cerita.

Dengan memakai laptop ter-charger, karena baterai sudah soak, saya mempresentasikan di depan mereka proses menjalin tiga kata menjadi sebuah kalimat atau saya menyebutkan kepada mereka dengan "kata acak jadi sebuah cerita yang seru banget!"  

Dari ketiga kata itu, saya berusaha mengasosiasikan dengan kalimat yang sederhana atau yang mudah dipahami anak-anak. Seperti kalimat dibawah ini: 

Pada suatu hari, ada seekor kucing. Dia sangat cepat larinya. Sampai-sampai kucing itu menerbangkan daun-daun yang berserakan. Di saat itu, cuaca sangat dingin. Karena habis hujan deras. Dan dilangit bagian barat muncul sebuah pelangi yang indah sekali. 

Saat mereka melihat proses pembentukan cerita dengan bantuan tiga kata acak itu, mereka justru terkesima dengan jemari saya karena saya mengetik dengan sistem 10 jari tanpa melihat keyboard. Dengan menunjukkan sistem 10 jari, ada pesan tersirat bahwa mengetik dengan sistem yang praktif ini harus diterapkan kalau tidak ingin capai. Setelah kalimat rampung, mereka memberi aplaus dan saya anggap ini sinyal bagus bagi saya, sebab ada indikasi ketertarikan. 

“Nah, besok datang lagi ya! Coba besok kita tambah lagi kata acaknya!” seru saya. 

A powerful way to make children like literacy is to instill a habit starting from the age of zero.—Saad Pamungkas

Gemar menulis dan membaca dua aktivitas ini yang menjadi kendaraan saya menjadi penulis, untuk menambah kenalan di Tanah Air maupun luar negeri, yang punya passion sama dibidang literasi.

0 Comment:

Posting Komentar

Contact

Kirim saya Email

Hubungi

ContactInfo

Secara etimologis, kata literasi (literacy)berasal dari bahasa Latin “literatus” yang artinya adalah orang yang belajar. Literasi erat hubungannya dengan proses membaca dan menulis. Namun, seiring berjalannya zaman, literasi mengalami perkembangan definisi yang baru, diantaranyaliterasi sains,literasi digital,literasi numerasi, literasi finansial, literasi budaya dan kewargaan. Khusus di website ini, membahas tentang literasi baca dan tulis atau manfaat berjejak hidup lewat kata.

Alamat:

Jln. Sunan Bonang No. 42A, Jember.

Phone:

+62 812 3254 8422

Email:

admin@mediapamungkas.com