Dalam buku karya Bill Gilbert, "How to Talk to Anyone, Anytime, Anywhere", yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia, “Seni Berbicara kepada siapa saja, kapan saja, di mana saja.” Buku tersebut berbicara tentang bagaimana seorang Larry King sangat mudah berbicara di depan publik. Bagaimana cara mengatasi rasa malu pewawancara kondang seperti Larry King, adalah dengan salah satu cara mengingat-ingat,
“Cara terbaik untuk mengatasi perasaan malu adalah mengingat pepatah bahwa orang yang Anda ajak bicara memasukkan kakinya ke celana satu demi satu.”
Kutipan ini saya ambil pada halaman 11. Kutipan inilah yang akhirnya saya adopsi secara diam-diam saat saya memulai wawancara dengan tokoh-tokoh yang secara titel lebih tinggi dari saya, seperti seorang seniman senior, seorang pengusaha sukses, pejabat DPR dan musisi. Tujuan wawancara itu untuk dituangkan dalam bentuk tulisan atau sebuah buku yang komplit dari sudut-sudut kacamata narasumber.
“Waduh!”
Itu kata seru yang bergaung dalam hati saya ketika tahu tokoh narasumber adalah orang yang titelnya tinggi. Gugup, dan dredeg. Tapi begitulah, mereka juga manusia biasa. Tapi meskipun saya tahu bahwa mereka juga manusia, saya harus mempersiapkan diri sebelum bertemu dengan mereka. Jangan sampai kesunyian lebih nyaring daripada pita suara saya. Jadi, bagaimana tahapan-tahapan membuat buku biografi mulai dari nol? Berikut tahapannya:
1. Mengumpulkan Riset
Hal pertama yang tidak boleh ditinggalkan oleh penulis yang bertindak sebagai pewawancara adalah melakukan riset. Kita wajib mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai orang yang ingin kita tulis kisahnya atau dalam hal ini narasumber. Riset-riset tersebut bisa diambil dari jejak digital seperti internet.
Kenapa demikian? karena bertujuan sebagai bahan rujukan untuk menyusun daftar pertanyaan.
Bagaimana kalau jejak digital tidak ada?
Caranya bisa menggali informasi dari orang-orang terdekat, seperti; keluarga, teman, sahabat, guru, dan kelompok atau individu yang kenal dengan narasumber.
Sebagaimana seperti yang saya lakukan ketika mengumpulkan riset seorang tokoh di Trenggalek, bernama Pak Subadianto. Beliau menjabat sebagai anggota DPR di Trenggalek. Karena beliau orang yang sangat sibuk, jadi saya menggali informasi dari sababat, teman, saudara, hingga guru. Tentu saja sebelumnya atas persetujuan Pak Subadianto.
 |
Biografi Subadianto, DPR Trenggalek, (186 lembar + x)
|
Setelah riset-riset terkumpul, buatlah beberapa pertanyaan dari riset tersebut. Ingat, hindari membuat pertanyaan yang jawabannya 'ya' atau 'tidak'.
Misal, seperti contoh di bawah ini:
Daripada bertanya, “cuaca yang gerah ini apakah mengganggu?”
Lebih baik bertanya, “cuacanya gerah, adakah sebab tertentu yang menimbulkan cuaca panas global ini?”
2. Senjata-Senjata yang Perlu Dipersiapkan
Setelah riset terkumpul dan pertanyaan-pertanyaan sudah tertulis, kita harus mempersiapkan diri dengan senjata-senjata pewawancara, yakni; pulpen, buku, dan alat perekam. Namun, sebelum melakukan wawancara, kita harus meminta izin terlebih dahulu kepada narasumber agar berkenan kalau wawancaranya ditulis atau pun direkam.
Jika sudah menentukan temu janji di suatu tempat, akan lebih baik datang lebih awal di tempat yang sudah disepakati tersebut. Agar kita bisa mempersiapkan diri dengan tenang sekaligus bisa mengamati lokasi sekitar yang nantinya ditulis pada hasil wawancara untuk menggambarkan situasi saat wawancara berlangsung.
3. Menggunakan Gaya Bahasa yang Berbeda
Dalam ilmu jurnalis, kita harus bisa menyesuaikan gaya bahasa dan nada bicara dengan latar belakang narasumber. Jika kita mewawancarai seseorang yang terlihat santai, seperti yang saya temui dengan seorang ibu-ibu pemilik toko sekaligus kos-kosan di Jalan Mastrib, beliau yang dulunya sebagai saksi hidup dari seorang pengusaha sukses di Jember, owner Senyum Media, maka saya berbicara dengan gaya yang santai. Seperti memakai bahasa daerah, bahasa Jawa Jemberan. Menyesuaikan gaya bahasa sesuai dengan umur dan budaya yang ditanyai. Sama halnya ketika saya mewawancarai orang-orang dekat Pak Subadianto, di Trenggalek, saya harus bisa memakai bahasa daerah, yakni Jawa. Trenggalek bahasa daerahnya dan unggah-ungguhnya masih terjaga. Jika berbicara dengan orang yang sudah sepuh, maka saya memakai Bahasa Jawa halus. Namun, jika kita mewawancarai pejabat, pebisnis atau pengusaha, kita harus berbicara dengan gaya yang formal.
 |
Lurah Tegaren dan Lurah Duren, di Trenggalek. Para sahabat Pak Subadianto. |
4. Melangsungkan Wawancara dengan Baik
Ada beberapa point yang harus diperhatikan saat wawancara berlangsung, diantaranya:
Bersikap Sopan
Apabila di meja milik narasumber sudah terhidang kudapan, jangan serta merta mengambil tanpa seizin narasumber. Atau misalkan ada buku yang sangat berkaitan dengan narasumber, jangan sekali-kali mengutipnya kecuali dengan seizinnya. Kalau dalam Jawa, disebut dengan unggah-ungguh atau orang beradab.
Membawa Bingkisan
Sebagai tamu, kita dianjurkan membawa bingkisan atau hadiah untuk mempererat kasih sayang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berilah hadiah di antara kalian! Niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari).
Membuat Kontak Mata
Jangan melirik-lirik ke berbagai arah ketika wawancara berlangsung, jika hal ini tetap dilakukan, meskipun kita serius mendengarkan, akan tetapi narasumber akan berpikir bahwa kita tidak sedang serius.
Harus Menerapkan Kejujuran
Meskipun kita sudah mengumpulkan berbagai riset yang komplit, apabila riset itu bukan dalam bidang keilmuan atau pengalaman kita, maka tak serta merta membuat kita paham pada satu hari saja. Berkatalah jujur, “Pak, maksudnya dari pengusaha dengan prinsip CEO itu bagaimana?” tanya saya kepada Pak Kholid, pengusaha property dan owner Senyum Media Group. “Prinsip CEO, itu dahulukan Customers, kemudian Employee, terakhir Owner. Disingkat menjadi CEO,” jawab Pak Kholid.
Ada banyak pertanyaan yang saya ajukan. Waw, banyak? Bukankah itu memalukan? Sama sekali tak memalukan. Asalkan kita tak mempertanyakan sesuatu yang dasar dari riset. Artinya pertanyaan secara spesifik.
Mencatat Point Penting
Jika narasumber mengizinkan kita merekam audio wawancara, kita patut bersyukur karena cara ini akan lebih mudah. Namun, bagaimana jika narasumber tak mengizinkannya dengan alasan karena karakter bicara narasumber yang ceplas-ceplos sehingga ia khawatir jika rekaman suaranya disalahgunakan. Apalagi jika kita mewawancarai tokoh-tokoh perpolitikan. Sangat riskan. Narasumber hanya mengizinkan kita menulis saja, maka tulislah poin-poinnya saja, yang kemudian nanti poin-poin tersebut dituang secara rinci di dalam narasi hasil wawancara.
Nah, itulah cara-cara bagaimana membuat biografi mulai dari tahap wawancara.
Bagaimana cara menuangkan dalam bentuk tulisan?
Bukankah masih acak-acakan, apalagi jika ngobrolnya asyik tentu melebar ke mana-mana. Bagaimana caranya?
Aktivitas meng-konvert-kan audio atau rekaman ke sebuah tulisan yang utuh tidaklah mudah, dan tidak pula sulit. Saya mengibaratkan menulis dengan bahan yang masih acak-acakan itu ibarat menyusun puzzle. Jika saya bermain puzzle, saya akan mencari pecahan puzzle dengan sisi yang lurus. Karena sisi yang lurus itu pasti ia berada di posisi paling pinggir. Saya akan mencari bentuk yang serupa, sehingga saya mempunyai gambaran.
Begitu juga dengan sebuah tulisan yang acak, ia pasti akan mempunyai garis yang jelas. Bagaimana caranya, simak caranya di bawah ini:
1. Convert Semua Audio dalam Bentuk Tulisan
Tuang semua pembicaraan dalam audio dalam bentuk tulisan. Akan tetapi terapkan pula keefektivan menyalin tulisan. Misalkan si narasumber dalam audio rekaman mengulang-ulang perkataan, maka kita cukupkan satu kalimat saja.
2. Harus Menghidupkan Otak Kreatif
Bagaimana sih caranya agar otak kreatif kita hidup? Otak penulis harus dihidupkan memakai tiga konsep dasar yakni asosiasi, imajinasi dan lokasi. Asosiasi merupakan cara menghubungkan sesuatu hal dengan hal lain, misalnya kata "makan", sementara di paragraf naskah yang agak berjauhan bertemu dengan "donat", maka dua kata ini kemungkinan berkorelasi atau saling berhubungan.
3. Harus Membuat Kata Kunci
Setelah semua tersalin dalam bentuk tulisan, kita akan menemukan sebuah tulisan yang benar-benar acak. Diantara kata acak itu pasti ada garis besarnya, misalnya tempat tanggal lahir narasumber. Maka kita pun saat menyalin dalam bentuk tulisan harus pandai meletakkan kata kunci. Misal kata kuncinya "tanggal lahir", maka yang saya lakukan adalah menekan ctrl + F pada MS Word. Nanti muncul kolom, ketik "tanggal lahir", maka kita akan disuguhkan dengan kata yang sedang kita cari. Bisa ditarik dibagian paragraf pembuka atau sesuai dengan keinginan kita.
 |
Cara mencari karta kunci.
|
4. Menyusun Peta
Karena kata-kata yang acak, tidak salahnya kita memetakan kata-kata. To the point, seperti ini, misalnya:
Lahir,
Waktu SD usil,
Kejadian yang pernah dibuat waktu SD,
Menghadapi sifat malas,
Mengidolakan guru,
Mulai cinta dengan literasi,
Novel yang disukai,
Dan seterusnya...
Di atas ini adalah contoh kata kunci yang saya buat mencari kata kunci diantara kata-kata acak dalam pembuatan biografi Kung Iman Suligi. Cari dengan navigasi find pada MS Word.
5. Harus Sabar
Point yang tak kalah penting adalah sabar. Kita menyusun kata-kata bukan pekerjaan yang cepat. Kesabaran adalah kata kunci dari kelahiran karya.
Akhir kata, semoga tulisan sederhana ini membantu Anda dalam berkarya tulis. Apabila ingin menambahi bisa ditulis di kolom komentar di bawah ini.
Terima kasih khususnya untuk peserta Online Class Writting (OWC batch 4) telah mengikuti kelas ini sampai tuntas, semoga semua peserta bisa menciptakan karya tulis juga!